Syaima, ya namanya Syaima. Gadis Kampung Badui si penjual roti kering pinggir jalan yang anggun. Aku tahu namanya Sayima dari orang sekitar yang sering memanggilnya begitu. Tinggi semampai dengan kulit putih hidung mancung, bermata kebiru-biruan, dan alis bak bulan tanggal muda. “Kurasa blasteran Inggris Mesir” celetuk temanku yang berjalan di sampingku. Kalau boleh berlebihan dia memang mirip dengan Putiri Diana ratu Inggris korban kecelakaan di sebuah terowongan di samping pont de l'Alma, paris. Hanya saja Sayaima memakai jilbab dan baju kurung khas Timur Tengah.Di bawah terik matahari, ia menjajakan roti keringnya. “Yalla 'isy syams”[1] teriaknya menawarkan dagangannya di pinggiran jalan.
Setiap kali aku berjalan melewati jalan yang sama, yaitu ketika aku mau berangkat berjamaah ke masjid waktu shalat dzuhur dan aku mau berangkat ke masjid waktu shalat asar pun dia masih setia duduk di pinggir jalan dengan roti keringnya yang ia letakkan di atas papan. papan terbuat dari batang kurma sebesar jari tangan yang kemudian di rangkai menjadi keranjang berbentuk kotak berukuran setengah meter. Tak bosannya tatkala ada orang lewat di depannya pasti berteriak “ Yalla 'ishy syams!!!!”.
Suatu ketika terbesit dalam hatiku ingin membeli roti kering pada si gadis itu. Mendekatlah aku padanya, lemparan senyum dari bibirnya. Sungguh membuat detak jantung ini berdetak lebih dari biasanya. Dan aku pun membalas senyumnya.
“bi-kam lil ishy ya ablah'?[2] tanyaku pada gadis badui itu dengan bahasa arabku yang masih kelihatan sekali logat Indoneisa-nya. “bi wahid geneh'?[3] jawabnya njeplak dengan logat Arabn-ya. aku membeli roti keringnya dan ku bawa kerumah. Dalam perjalanan ke rumah ingatanku masih saja pada gadis itu, apa lagi ketika dia melemparkan senyumnya. Ah, aku tidak tahu apa arti senyumnya itu, apa karena dia melihat orang asing yang sedang mendekatinya, atau..? tapi ini tidak biasanya sebagaimana gadis Mesir yang tidak mudah untuk melemparkan senyum pada orang asing, apalagi yang bukan mahramnya. Ah sungguh berjubel perasangka di hati .
“Ah, ternyata keras” kataku sewaktu aku buka bungkusnya dan ku makan roti yang bentuknya mirip piring itu. Waktu itu aku sendiri belum pernah melihat bagaimana orang mesir memakan roti itu.
“ Giginya orang mesir dari baja kali, hehehe”. Joke temanku yang juga mencoba mencicipi roti kering itu. Humm, sejenak aku berfikir. “O iy aku ada susu, Makan aja sambil di celupin ke susu” “wah ide bagus tuh. Iya ternyata enak juga pake susu” kata Joni, temanku.
Beberapa minggu kemudia aku ingin sekali makan roti kering itu lagi, tapi padahal temen-temenku bilang “cukup sekali ini saja aku makan roti kering ini”. Aku mencoba untuk membeli roti itu di tempat biasa, di pinggir jalan yang di jajakan oleh gadis badui itu. Kali ini aku hanya membeli sedikit, hanya tiga saja. Karena temen-temenku pada bilang tidak akan memakan roti itu lagi karena terlalu kerasnya.
Seminggu sekali aku membeli roti dari gadis badui itu. Entah sangat kebetulan sekali ketika aku sedang membeli rotinya tiba-tiba saja hujan gerimis membasahi pasri kering, “ha, kairo hujan?” Batinku dalam hati. Aku bengong beberapa detik. Dahiku mengerut seolah memikirkan sesuatu. Dan seketika itu aku ikut membantu mengangkat papan yang di atasnya ada roti dagangannya untuk di bawa ke tempat yang aman dari hujan gerimis. “syukron”[4] katanya padaku sambil melemparkan senyum. “Afwan”[5] jawabku pelan sambil senyum juga.
Gerimis masih menghiasi kairo. Kurang lebih sepuluh menit kairo di gemparkan dengan gerimis, orang-orang berlarian sambil mengembangkan senyum, senang sekali rasanya. “ Hadza Min fadhli Robbi”[6] kalimat itu terlontar dari bapak-pabak yang merelakan bajunya basah dengan gerimis menuju entah kemana. “Ah, orang Mesir nggak pernah lihat hujan, pantesan saja girangnya minta ampun sekali lihat gerimis” batinku berceloteh.
O iya di sampingku ada gadis badui hampir saja aku lupa. Akirnya aku berkenalan dengan gadis itu, kami kenalan. “Namaku ” kataku. “Syaima namaku” katanya sambil pasang senyum bibirnya.
Ya, namanya Syaima berarti selama ini aku tidak salah tebak, orang-orang sekitar sering panggil dia dengan sebutan itu. Kami bicara panjang lebar selama hujan belum berhenti. Dia bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Umurnya sekarng sembilan belas tahun, dia tidak melanjutkan kuliah karena orangtuanya tidak mamapu, nama ayahnya bernama Abdou. Sedangkan ibunya sudah meninggal karena kangker. Ayahnya bekerja sebagai penjaga apartemen, dan kakaknya, Ahmad Samir dua tahun lebih tua, bekerja sebagai pemulung.
Pertemuanku hari itu di akhiri dengan berhentinya gerimis. “Yah, gerimisnya kok udahan sih!!” batinku. Ingin rasanya aku ngobrol banyak dengannya. Tapi ya sudah, yang penting dia sudah mau berkenalan denganku. Kami mengadakan janji ketemu. Jarang sekali gadis mesir yang mau di ajak ngobrol dengan orang asing yang bukan mahramnya.
Waktu terus berjalan aku semakin dekat dengan Syaima. Sekali aku di ajak mampir ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat ia menjajakan rotinya. Ayahnya, Abdou senang sekali aku bisa berkunjung kerumahnya. “Nawwar bika”[7] kata Abdou sambil mengankat kedua tangannya kemudian di arahkan tangannya padaku. “Bi Nuri kum”[8] jawabku sambil pasang senyum dan ku ulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Rupanya Syaima bercerita pada bapaknya ketika aku membantunya saat hujan gerimis membasahi tanah pasir itu. Aku di jamu di rumahnya dengan jamuan ala Mesir.
***
sudah tiga hari ini aku tidak melihat dia berjualan di tempat biasanya, ada apa gerangan? Hati ini semakin gundah, kangen dan selalu terbayang. Ingin sekali rasanya aku bertemu dengannya detik ini. Perasaan ini tidak tenang. Ah ada apa dengan diriku, aku kan bukan siapa-siapanya aku hanya seorang pembali rotinya saja yang kemudian aku memberikan pertolongan pada waktu hari hujan? Apa rasa ini yang di namakan cinta? Apa sih ciri-ciri orang jatuh cinta itu?
Malam hari di landa rasa tak menentu, tidak bisa tidur hanya karena memikirkannya.
Sehabis shalat dzuhur ku beranikan untuk berkunjung ke rumahnya. Dan ternyata kosong, rumahnya tidak ada satu orang pun. Aku tanyakan pada tetangga dekat Syaima. katanya keluarga Abdou sudah pulang ke kampungnya karena di usir sama yang punya rumah kontrakan karena sudah beberapa bulan nunggak uang bulanan. “Memang saudara siapanya Abdou?” Tanya tetangga. Akupun kebingungan mau menjawab apa pada tetangganya itu. Padahal antara kami tidak ada hubungan apa-apa, hanya sekedar pernah berkunjung sekali itu saja. “Saya temannya Syaima”, jawabku. “Ada sesuatu yang penting saudara?' Tanyanya, “kalau ada sesuatu yang penting nanti saya sampaikan pada Syaima”.tambahnya. “Iya pak nanti saya mau nitip surat untuk syaima”. “Boleh... boleh.. kebetulan besok lusa saya juga mau pulang ke kampung”.
“ Terimakasih, pak. Kalau gitu saya ntitip surat buat Syaima. , kita ketemuan di depan rumah ini besok sambil saya bawakan surat itu.” pintaku. “Dengan senang hati saya akan sampaikan surat saudara”. jawabnya.
Terimakasih pak. Saya pamit dulu.
Sesampainya di rumah aku menulis surat untuk Syaima,
Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Syaima, apa kabarmu? Mudah-mudahan masih dalam naungan kasih sayang-Nya
Sejak aku bertemu denganmu waktu itu, hati ini gundah dan resah. Namun mulut ini kelu untuk mengatakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan ketika itu.
Rindu ini selalu hadir sejak kamu pergi ke kampungmu. Hadirmu dalam mimpiku membuat aku terdorong untuk menuliskan rangkaian kata. Ya, sebuah kalimat pernyataan sebagai bukti aku benar-benar mencintaimu. aku mencintaimu karenya Allah.
Aku tahu kamu tidak akan kembali lagi ke kota ini kecuali ada sebuah keajaiban yang datang dari-Nya. Tapi paling tidak surat ini bisa melegakan hati piluku yang memendam tumpukan rasa. Rasa cintaku padamu yang aku kubur selama ini. Dan hari ini aku bongkar lewat rangakaian kata-kata. Meskipun rangkaian kata ini menjadi ilusi cintaku.
Sekian, dari Sang empunya hati pilu,
Ardian Ibrahim.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
kairo 5 september 2009
[1] Isy syams; roti kering mesir. Bentuknya seperti piring yang gemuk, maksud "yalla isy sams"; ayo roti keringnya.....
[2]bikam lil ishy ya ablah?: Berapa harga roti ini wahai, gadis?
[3]bi wahid geneh': Dengan harga satu pound[mesir]
[4]syukron; terimakasih
[5]Afwan: Artinya bermacam2, bisa balasan dari ucapan syukron, bisa juga kalimat permohonan maaf.
[6]Hadza min fadhli Robbi : Ini adalah karunia ilahi
[7]Nawwar bi-ka: Ungkapan orang mesir untuk menyanjung tamu yang mengunjungi rumahnya sebagai tanda kehormatan . Yang kurang lebih artinya; sungguh tempat ini menjadi terang dan bercahaya dengan datangnya anda kemari.
[8]Bi Nuri kum: Jawaban untuk ungkapan Nawwar bika
Saturday, September 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Sign by Dealighted - Coupons and Deals
No comments:
Post a Comment