Friday, October 30, 2009

Abu Qosim dan Sepatu Pembawa Petaka

Jaman dahulu kala di Bagdad ada seorang yang kaya. Abu Qosim namanya. Abu Qosim mempunyai sepasang sepatu yang selama tujuh tahun belum pernah di gantinya. Dan ketika sepatu itu di lepas dari kakinya keluarlah serabut dan serpihan kain yang tidak mengenakkan. Bisa di bayangkan, selama tujuh tahun sepatu itu belum pernah di ganti. Para tetanggapun melihatnya dengan penuh melas dan iba, tak jarang juga ada yang mengumpat melihat Abu Qosim memakainya. Suatu hari salah satu tetangganya bertanya kepada Abu Qosim: “Hai Abu Qosim, apakah sebaiknya kamu buang saja sepatumu yang butut itu, kamu ini kan orang kaya, apakah tidak kepikiran untuk membeli sepatu yang baru lagi?”
“Benar katamu”, kata Abu Qosim. “Aku akan membeli sepatu baru lagi dengan izin Allah Swt”, Sambung Abu Qosim.


Suatu hari Abu Qosim sehabis dari WC umum. Dia keluar dari WC tiba-tiba melihat di samping sepatu bututnya ada sepasang sepatu yang baru dan bagus tentunya, sangka Abu Qosim ada orang yang dermawan yang membelikan sepatu itu untuknya. Bergegas Abu Qosim memakai sapatu baru itu kemudian pulang kerumahnya.
Dan ternyata sepatu baru yang di pakai Abu Qosim adalah milik seorang hakim yang pada waktu itu datang ke WC umum juga. Terang saja sang hakim marah ketika itu karena yang ada hanyalah sepatu butut. Kemudian sang hakim menanyakan masyarakat sekitar. “siapa sih yang tidak tahu sepatunya Abu Qosim itu?”. kemudian sang hakim mengutus pembantunya untuk memanggil Abu Qosim supaya menghadapnya.
Sampailah pembantu sang hakim dengan membawa Abu Qosim ke rumah sang hakim, langsung ditamparnya Abu Qosim oleh sang hakim.” Ini namanya pencurian” kata sang hakim. Tanpa banyak bicara, Abu Qosim di masukkan kedalam penjara sampai beberapa waktu. Kemudian di keluarkanlah Abu Qosim dari penjara setelah membayar denda yang telah di tetapkan.
Setelah Abu Qosim keluar dari penjara. Ia sambil membawa sepatu bututnya, dia merenung sejenak mengenai sepatu itu, kemudian muncul lah akal untuk menghanyutkan sepatu itu di sungai. Di tenggelamkanlah sepatu butut itu kedalam sungai yang kebetulan sungai itu banyak ikannya. Datanglah dua orang ke sungai untuk memancing ikan. Di dapatkannya sepatu butut itu oleh salah satu dari dua orang pemancing itu. “Siapa yang tidak tahu sih sepatu bututnya Abu Qosim?”. Di kiranya Abu Qosim kehilangan sapatu itu, si pemancing berniat baik, di antarkannya sepatu itu ke rumah Abu Qosim. Sampailah pemancing itu di rumah Abu Qosim, pintu tertutup, namun jendela terbuka lebar. Di lemparkanlah sepatu itu melalui jendela, sepatu jatuh tepat mengenai almari kaca milik istri Abu Qosim. Sontak Abu Qosim kaget melihat sepatu butut yang sudah ia tenggelamkan di sungai itu bertengger di almari isterinya yang sudah pecah dan berantakan. “Dasar..!!!! sepatu pembawa petaka, kamu kan sudah aku hanyutkan di sungai, kenapa bisa balik lagi!!!” di caci-makinya sepatu butut itu sambil menampari mukanya sendiri.
Pada suatu malam Abu Qosim mencari cara lain supaya sepatu bututnya tidak membawa petaka lagi. Keluarlah Abu Qosim dari rumahnya sambil mengendap-endap, kemudian di galilah lobang tapat di dekat pagar rumah tetangganya. Ternyata ada seseorang yang mendengar Abu Qosim sedang menggali sesuatu. Sontak ia mengira bahwa Abu Qosim akan merobohkan rumah tetangganya. Melaporlah orang yang melihat perbuatan Abu Qosim tadi kepada polisi, datanglah polisi ke tempat kejadian.” kamu itu orang sinting, ya? Mau kamu apakan rumah tetanggamu itu di gali-gali?. Apa kamu mau merobohkan rumah tetanggamu sendiri?” Umpat Polisi pada Abu Qosim. Tanpa babibu, Abu Qosim pun di borgol kemudian di masukan ke dalam penjara selama bebarapa hari. Keluarlah Abu Qosim dari penjara setelah membayar denda yang di tetapkan dalam pengadilan.
Suatu hari Abu Qosim naik loteng untuk menyimpan sepatunya. Di letkkanlah sepatu itu di loteng, dia pikir sudah aman di situ dan tidak akan membuat masalah lagi. Entah karena kebetulan, pada suatu hari ada seekor anjing yang naik loteng kemudian memungut sepatu itu. Di gondol lah sepatu itu dengan mulutnya sambil keliling loteng. Kemudian anjing itu melemparkannya ke bawah. Sepatu jatuh tepat di kepala orang yang sedang di bawahnya. Celakalah orang yang ada di bawah hingga masuk rumah sakit. “Siapa sih yang tidak kenal sepatu bututnya Abu Qosim?” Maka Abu Qosim pun di adili, karena ia tersangka utama dari kecelakaan itu, yaitu si empunya sepatu. Abu Qosim di tuntut untuk membayar semua biaya rumah sakit dan memberikan nafkah kepada anak isteri orang yang terkena sepatunya, sampai orang itu sembuh dari sakit. Hingga terkuraslah harta Abu Qosim.
Sudah tidak ada jalan lain bagi Abu Qosim untuk menjauhkan sepatu bututnya itu dari hadapannya. Menghadaplah Abu Qosim kepada seorang hakim. Abu Qosim berkata “ Wahai sang hakim, sudikah kiranya engkau mau menuliskan hitam di atas kertas putih sebagai pernyataan bahwa sepatu ini bukan lagi milikku, supaya nanti jika sepatu ini membuat orang terluka, aku sudah bebas dari hukuman?”. Mendengar perkataan Abu Qosim, sang hakim hanya tersenyum dan menuruti apa kata Abu Qosim.*

*Aku terjemah dari buku kursus Bahasa Arab yang di ambil dari buku Qishoshul Arob


Kairo 29 okt 2009

Mawardi

Thursday, October 1, 2009

Semua Meneteskan Airmata Untukku

Kawan, maukah kau aku ceritakan perjalananku menuju negeri ini. Negeri mesir. Negeri para Nabi. Negeri Seribu Menara, kata mereka.
Ya, akan ku ceritakan dalam beberapa baris, bukan dalam bentuk novel, karena aku bukan Habiburrahman el Shirazy yang pandai merangkai kata, mengukir kalimat hingga menjadi beratus dan bahkan beribu-ribu halaman:
Kawan, ketika mengikuti seleksi ujian masuk Universitas al-Alzhar Mesir, aku masih belum ada bayangan tentang Mesir. Bahkan, waktu aku sudah siap; siap fisik, mental, dan materi untuk berangkat aku tidak ada bayangan juga, masih gelap. Yang ada hanyalah, bahwa mesir negeri yang “wah” dengan islamnya. Begitu saja tidak lebih. “Wah” yang bagaimana? Aku pun tidak bisa mendeskripsikannya. Dan itu salahku kenapa aku dulu tidak mau mencari tau informasi ke-mesiran.

Kadang di sini aku menyesal. Menyesal kenapa aku sampai Mesir, [ha! Menyesal?]. Tapi anehnya ternyata justeru aku senang, senang dengan kehidupan sini yang begitu 'santainya'; aku senang bisa berbahasa arab, meskipun tidak amat lancar yang kadang kalau berbicara dengan orang sini, mesir, mereka masih geleng kepala minta pemahamanku. Aku bisa mengenal sedikit dari lagu mesir, aku bisa merasakan indahnya sungai Nile di malam hari, aku bisa merasakan lelahnya mendaki puncak Tursina, yang konon di sana Nabi Musa. as. pernah minta pada Allah swt agar bisa melihat-Nya, “Robby arini andur ilaik” Allah pun menjawab, “Kamu nggak bakalan bisa melihatku, lihatlah gunung itu jika masih tetap dalam kondisinya mungkin kamu akan bisa melihatku” namun akhirnya gunung itu luluh lantak dan Nabi Musa pun tersungkur dan akhirnya mohon ampun.
Dan satu lagi, disini aku bisa masak sendiri, yang bisa di nikmati oleh teman-temanku. Meskipun selama tiga tahun ini aku masak belum pernah ada kaum Hawa yang mencicipinya, yang penting kaum Adam sudah menyatakan "wah enak masakanmu".

Kadang-kadang aku terbuai dengan hangatnya selimut di musing dingin, dan aku benci dengan ganasnya matahari di musim panas hingga aku malas untuk keluar apartemen. Ya, malas, malas untuk hadir di kegiatan-kegiatan di Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia, Kairo, apalagi sampai menghadiri pengajian di masjid al-Azhar, yang akrab biasa di sebut 'talaqi'.
Kembali pada perjalananku menuju kairo, mesir.
Taukah kawan?, ketika itu bapakku mendo'akanku tepat di depan pintu sembari menengadahkan tangan setelah koper dan segala macam keperluan aku persiapkan, dan siap ku jinjing keluar rumah. Aku menangis di pangkuan ibu setelah aku medengar do'a bapak yang diiringi tangis beliau. Ibu pun turut menangis dan seluruh kerabatku ikut meneteskan air mata.

Kawan, baru kali pertama itu aku menangis di pangkuan ibuku. Aku turut menangis saat mendengar isak tangis ibuku. Ah, sungguh mengharukan, yang sampai detik ini aku tak dapat menghilangakan kenangan itu, ya aku nggak bakalan menghilangakan moment itu, karena moment itu adalah moment yang teramat penting jikalau ku lupakan.
Sesampainya di bandara Soekarno-Hatta, cengkareng. Bapakku dan seluruh kerabat yang mengantarku kembali meneteskan air mata. Lambaian tangan berseling lelehan air mata. Barat hati ini meninggalkan indonesia, berat hati ini meninggalkan kampung halaman, berat hati ini meninggalkan bapak, ibu, kakak, adik dan kerabat, berat meninggalkan suara alam desa, berat meninggalkan suasana pegunungan yang sejuk, berat, berat dan berat sekali. Namun demi cita-cita dan ambisiku yang terkubur. Ya, yang terkubur lama, memang sejak kecil aku berandai-andai bisa menuntut ilmu di universitas al-Azhar, mesir.
Aku balas lambaian tangan mereka, ku paksakan untuk senyum, namun air mata ini mengiringi senyumku. Ya, senyumku di iringi lelehan airmata.
Tangis ibu, bapak dan seluruh keluarga adalah tangis yang mengandung sebuah doa; nak pulanglah segera, jangan lama-lama kau di sana, kami yang di sini menanti kembalimu membawa ilmu yang bermanfaat untuk nusa dan bangsa sekalipun kau bangun desamu. Ah, sungguh mengharukan ketika itu,. Aku berharap kejadian itu akan selalu terngiang dan menjadikan pulihnya semangat untuk menuntut ilmu yang berguna tuk masa depan nanti.
Maafkan aku, bapak, ibu dan seluruh yang mengharapkan kembaliku, aku tidak segera kembali sesuai apa yang di harapkan. Dua kali aku gagal. Dan yang seharusnya tahun depan aku pulang tapi aku harus menempuh hidup di sini selama kurang lebih tiga tahun lagi. Ya, tigat ahun waktu yang singkat untuk aku di sini. Namun, waktu yang begitu lama untuk bapak, ibu dan orang-orang yang mengharapkan dan menungguku. Semoga detik ini, menit ini dan jam ini, Bapak, Ibu, dan seluruh kerabat belum beranjak dari sajadah sembari menengadahkan tangan mereka untuk mendoakanku disini.
Semoga Allah selalu memberikan kekuatan dan kesabaran untuk bangkit kembali, amin.

Sign by Dealighted - Coupons and Deals