Thursday, October 1, 2009

Semua Meneteskan Airmata Untukku

Kawan, maukah kau aku ceritakan perjalananku menuju negeri ini. Negeri mesir. Negeri para Nabi. Negeri Seribu Menara, kata mereka.
Ya, akan ku ceritakan dalam beberapa baris, bukan dalam bentuk novel, karena aku bukan Habiburrahman el Shirazy yang pandai merangkai kata, mengukir kalimat hingga menjadi beratus dan bahkan beribu-ribu halaman:
Kawan, ketika mengikuti seleksi ujian masuk Universitas al-Alzhar Mesir, aku masih belum ada bayangan tentang Mesir. Bahkan, waktu aku sudah siap; siap fisik, mental, dan materi untuk berangkat aku tidak ada bayangan juga, masih gelap. Yang ada hanyalah, bahwa mesir negeri yang “wah” dengan islamnya. Begitu saja tidak lebih. “Wah” yang bagaimana? Aku pun tidak bisa mendeskripsikannya. Dan itu salahku kenapa aku dulu tidak mau mencari tau informasi ke-mesiran.

Kadang di sini aku menyesal. Menyesal kenapa aku sampai Mesir, [ha! Menyesal?]. Tapi anehnya ternyata justeru aku senang, senang dengan kehidupan sini yang begitu 'santainya'; aku senang bisa berbahasa arab, meskipun tidak amat lancar yang kadang kalau berbicara dengan orang sini, mesir, mereka masih geleng kepala minta pemahamanku. Aku bisa mengenal sedikit dari lagu mesir, aku bisa merasakan indahnya sungai Nile di malam hari, aku bisa merasakan lelahnya mendaki puncak Tursina, yang konon di sana Nabi Musa. as. pernah minta pada Allah swt agar bisa melihat-Nya, “Robby arini andur ilaik” Allah pun menjawab, “Kamu nggak bakalan bisa melihatku, lihatlah gunung itu jika masih tetap dalam kondisinya mungkin kamu akan bisa melihatku” namun akhirnya gunung itu luluh lantak dan Nabi Musa pun tersungkur dan akhirnya mohon ampun.
Dan satu lagi, disini aku bisa masak sendiri, yang bisa di nikmati oleh teman-temanku. Meskipun selama tiga tahun ini aku masak belum pernah ada kaum Hawa yang mencicipinya, yang penting kaum Adam sudah menyatakan "wah enak masakanmu".

Kadang-kadang aku terbuai dengan hangatnya selimut di musing dingin, dan aku benci dengan ganasnya matahari di musim panas hingga aku malas untuk keluar apartemen. Ya, malas, malas untuk hadir di kegiatan-kegiatan di Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia, Kairo, apalagi sampai menghadiri pengajian di masjid al-Azhar, yang akrab biasa di sebut 'talaqi'.
Kembali pada perjalananku menuju kairo, mesir.
Taukah kawan?, ketika itu bapakku mendo'akanku tepat di depan pintu sembari menengadahkan tangan setelah koper dan segala macam keperluan aku persiapkan, dan siap ku jinjing keluar rumah. Aku menangis di pangkuan ibu setelah aku medengar do'a bapak yang diiringi tangis beliau. Ibu pun turut menangis dan seluruh kerabatku ikut meneteskan air mata.

Kawan, baru kali pertama itu aku menangis di pangkuan ibuku. Aku turut menangis saat mendengar isak tangis ibuku. Ah, sungguh mengharukan, yang sampai detik ini aku tak dapat menghilangakan kenangan itu, ya aku nggak bakalan menghilangakan moment itu, karena moment itu adalah moment yang teramat penting jikalau ku lupakan.
Sesampainya di bandara Soekarno-Hatta, cengkareng. Bapakku dan seluruh kerabat yang mengantarku kembali meneteskan air mata. Lambaian tangan berseling lelehan air mata. Barat hati ini meninggalkan indonesia, berat hati ini meninggalkan kampung halaman, berat hati ini meninggalkan bapak, ibu, kakak, adik dan kerabat, berat meninggalkan suara alam desa, berat meninggalkan suasana pegunungan yang sejuk, berat, berat dan berat sekali. Namun demi cita-cita dan ambisiku yang terkubur. Ya, yang terkubur lama, memang sejak kecil aku berandai-andai bisa menuntut ilmu di universitas al-Azhar, mesir.
Aku balas lambaian tangan mereka, ku paksakan untuk senyum, namun air mata ini mengiringi senyumku. Ya, senyumku di iringi lelehan airmata.
Tangis ibu, bapak dan seluruh keluarga adalah tangis yang mengandung sebuah doa; nak pulanglah segera, jangan lama-lama kau di sana, kami yang di sini menanti kembalimu membawa ilmu yang bermanfaat untuk nusa dan bangsa sekalipun kau bangun desamu. Ah, sungguh mengharukan ketika itu,. Aku berharap kejadian itu akan selalu terngiang dan menjadikan pulihnya semangat untuk menuntut ilmu yang berguna tuk masa depan nanti.
Maafkan aku, bapak, ibu dan seluruh yang mengharapkan kembaliku, aku tidak segera kembali sesuai apa yang di harapkan. Dua kali aku gagal. Dan yang seharusnya tahun depan aku pulang tapi aku harus menempuh hidup di sini selama kurang lebih tiga tahun lagi. Ya, tigat ahun waktu yang singkat untuk aku di sini. Namun, waktu yang begitu lama untuk bapak, ibu dan orang-orang yang mengharapkan dan menungguku. Semoga detik ini, menit ini dan jam ini, Bapak, Ibu, dan seluruh kerabat belum beranjak dari sajadah sembari menengadahkan tangan mereka untuk mendoakanku disini.
Semoga Allah selalu memberikan kekuatan dan kesabaran untuk bangkit kembali, amin.

No comments:

Sign by Dealighted - Coupons and Deals