Friday, September 11, 2009

Sebutir Kurma

Ya, sebutir kurma. Berbuka puasa hanya dengan beberapa butir kurma di negeri para Nabi mengingatkanku dahulu di kampungku waktu buka puasa. Dulu ketika menjelang buka puasa aku pasti bertanya pada ibuku; “Bu' sekarang bukanya pakai apa?” , “ya itu yang ada di meja”, jawab ibu singkat. Sejurus kemudian aku menggerutu karena buka puasanya hanya itu-itu saja ketika itu. {hanya itu!!!!?} padahal yang ketika itu untuk ta'jil-annya saja sudah ada kolak pisang, bakwan, kue apem, dan ada buah mangga, terus untuk makam malamnya sering ibu masak ayam. Aku juga masih saja kurang syukur. Dan tak jarang juga piring atau gelas yang sehabis aku pakai aku letakkan dengan kerasnya hingga menimbulkan bunyi “ prakk”, sebagai bentuk protesku pada ibu. Mengingat itu semua kadang air mata ini mengalir dengan sendririnya. “Sampai segitunya” batinku sekarang.Namun sekarang berbuka puasa hanya dengan sebutir kurma aku merasa sudah cukup dan bersyukur sekali.
Aku yang jauh dari ibu dan bapak, yang kalau mau makan aku harus masak sendiri. Dan apalagi ketika menjelang buka puasa dan waktu sahur tiba, aku harus repot-repot menyiapkan segala macam yang ingin aku masak. Eh, belum lagi di coolkas sama sekali tidak ada bahan yang bisa untuk di masak. Waduh, harus belanja kepasar, deh.
Alloh.....terimakasih, Engkau masih karuniakan aku badan yang sehat dan sempurna lagi tanpa ada cacat apapun di anggota badanku. Dan Engkau masih memperkenankan aku untuk berbicara dengan orangtuaku meskipun dengan jarak unun jauh disana, yang penting mereka kedua orangtuaku masih tetap sehat wal 'afiyat.
Kadang hati ini di selimuti rindu yang mendalam karena ingin sekali bertemu dengan ke dua orangtua ku, sudah tiga kali puasa dan insya Alloh tigakali lebaran juga aku tidak “sungkem” pada bapak ibu, aku hanya bisa “sungkem” lewat telpon yang kadang suara di seberang sana sama sekali tidak jelas, itupun kalau dana untuk telpon ada, kalau tidak ada ya sekedar SMS-an. Ya, semoga dengan ini menambah kecintaanku pada ibu dan bapakku. Yang dulu ketika di rumah, sama sekali aku tidak pernah mensyukuri dan sadar bahwa aku masih punya ibu dan bapak, Astaghfirullah. Memang jarak yang jauh kadang membuat kita semakin tambah cinta, tamba sayang dan ada rasa kangen. ya. Kangen dan rindu yang begitu mendalam.
Yang dulu sama sekali tidak ada rasa kangen. Atau ingin sekedar ngobrol atau bahkan bercanda dengan ibu bapak. Tapi perasaan itu baru muncul sekarang. Yang sekarang ketika aku dan ibu bapakku berjauhan.
Sekali lagi terimakasih, Alloh. Karena Engkau masih bisa memberika umur yang panjang kepada ibu dan bapakku dan terimakasihku karena Engkau masih sadarkan aku untuk selalu mengingat mereka. Aku mohon pertemukan aku nanti dengan ibu bapaku dalam naungan cinta dan kasih sayang-Mu. Begitu juga pertemukan aku dengan kakak dan adikku nanti dalam gendengan tangan mesra-Mu yang ketika kami dulu di rumah sering bertengkar hanya karena persoalan “sepele”. Dan baru merasakan juga aku di karuniai seorang kakak yang baik hati, yang tiap bulannya harus meluangkan waktunya untuk pergi mondar-mondir ke BANK mentransfer uang untukku, astaghfurullah.....baru sadar juga aku kalau aku ini mempunyai seorang kakak yang baik hati. Betapa dan betapanya aku ini.
Segudang nikmat-Mu Engaku limpahkan padaku, Alloh. Terimakasih Alloh. Harus dengan apa aku haru membalas semua ini pada-Mu, Allah. Dan harus dengan apa juga aku harus membayar semua ini kepada ibu bapak dan kakakku nanti. Dan betapa tidak tahu malunya aku ini yang sudah besar masih saja mengandalankan kiriman uang untuk sekedar uang jajan? Ah, hati ini kalau mengingat itu serasa sakit, namun aku tidak mampu. [Tidak mampu!!?] Atau itu hanya kilahku saja karena aku bermalas-malasan di sini. Alloh, ampuni aku.
Allah, istiqomahkan aku di jalan ini; menuntut ilmu di negeri orang. Sabarkan aku di kala cobaan-Mu datang kuatkan jasmani dan rohaniku agar aku bisa menjalankan tugas ini dengan sempurna. Dan Berikan aku yang terbaik untuk aku persembahkan pada mereka yang senantiasa berbuat lebih padaku, tak lain adalah Ibu Bapakku dan kakakku. Dan tak lupa seluruh keluarga di rumah yang senantiasa menudkungku di sini. Alloah, aku tahu Engkau maha pengampun atas segala dosa, kepada siapa lagi aku harus meminta ampun selain Engaku?.Tiada lain hanya Engkau, Alloh.

Gadis Kampung Badui

Syaima, ya namanya Syaima. Gadis kampung badui si penjual roti kering pinggir jalan yang anggun. Aku tahu namanya Sayima dari orang sekitar yang sering memanggilnya begitu. Tinggi semampai dengan kulit putih, hidung mancung, bermata kebiru-biruan, dan alisnya bak bulan tanggal muda. “Kurasa blasteran Inggris-Mesir” celetuk temanku yang berjalan di sampingku. Kalau boleh berlebihan dia memang mirip dengan Putiri Diana, ratu Inggris korban kecelakaan di sebuah terowongan di samping pont de l'Alma, paris. Hanya saja Syaima memakai jilbab dan baju kurung khas Timur Tengah.
Di bawah terik matahari, ia menjajakan roti keringnya. “Yalla 'isy syams”1 teriaknya menawarkan dagangannya di pinggiran jalan.
Setiap kali aku berjalan melewati jalan yang sama, yaitu ketika aku mau berangkat berjamaah ke masjid waktu shalat dzuhur dan aku mau berangkat ke masjid waktu shalat asar pun dia masih setia duduk di pinggir jalan dengan roti keringnya yang ia letakkan di atas papan. Papan yang terbuat dari batang kurma sebesar jari tangan yang kemudian di rangkai menjadi keranjang berbentuk kotak berukuran setengah meter. Tak bosannya ia tatkala ada orang lewat di depannya pasti berteriak “ Yalla 'ishy syams!!!!”.
Suatu ketika terbesit dalam hatiku ingin membeli roti kering pada si gadis itu. Mendekatlah aku padanya, lemparan senyum dari bibirnya. Sungguh membuat detak jantung ini berdetak lebih dari biasanya. Dan aku pun membalas senyumnya.
“bikam lil ishy ya ablah'?2 tanyaku pada gadis badui itu dengan bahasa arabku yang masih kelihatan sekali logat Indoneisa-nya. “bi wahid geneh'?3 jawabnya njeplak dengan logat Arabn-ya. aku membeli roti keringnya dan ku bawa kerumah. Dalam perjalanan ke rumah ingatanku masih saja pada gadis itu, apa lagi ketika dia melemparkan senyumnya. Ah, aku tidak tahu apa arti senyumnya itu, apa karena dia melihat orang asing yang sedang mendekatinya, atau..?. Tapi ini tidak biasanya sebagaimana gadis Mesir yang tidak mudah untuk melemparkan senyum pada orang asing, apalagi yang bukan mahramnya. Ah sungguh berjubel perasangka di hati .

“Ah, ternyata keras sekali rotinya” kataku sewaktu aku membuka bungkusnya dan ku makan roti yang bentuknya mirip piring itu. Waktu itu aku sendiri belum pernah melihat bagaimana orang mesir memakan roti itu.
“ Giginya orang mesir terbuat dari baja kali, hehehe”. Joke temanku yang juga mencoba mencicipi roti kering itu. Humm, sejenak aku berfikir. “O iy aku ada susu, Makan aja sambil di celupin ke susu” “wah ide bagus tuh. Iya ternyata enak juga pake susu” kata Joni, temanku.
***

Beberapa minggu kemudia aku ingin sekali makan roti kering itu lagi, tapi padahal temen-temenku bilang “cukup sekali ini saja aku makan roti kering ini”. Aku mencoba untuk membeli roti itu di tempat biasa, di pinggir jalan yang di jajakan oleh gadis badui itu. Kali ini aku hanya membeli sedikit, hanya tiga saja. Karena temen-temenku pada bilang tidak akan memakan roti itu lagi karena terlalu kerasnya.
Seminggu sekali aku membeli roti dari gadis badui itu. Entah sangat kebetulan sekali ketika aku sedang membeli rotinya tiba-tiba saja hujan gerimis membasahi pasir kering, “ha, kairo hujan?” Batinku dalam hati. Aku bengong beberapa detik. Dahiku mengerut, aku memikirkan sesuatu. Dan seketika itu aku ikut membantu mengangkat papan yang di atasnya ada roti dagangannya untuk di bawa ke tempat yang aman dari hujan gerimis. “syukron”4 katanya padaku sambil melemparkan senyum. “Afwan”5 jawabku pelan sambil senyum juga.
Gerimis masih menghiasi kairo. Kurang lebih sepuluh menit kairo di gemparkan dengan gerimis, orang-orang berlarian sambil mengembangkan senyum, senang sekali rasanya. “ Hadza min fadhli Robbi”6 kalimat itu terlontar dari bapak-pabak yang merelakan bajunya basah dengan gerimis menuju entah kemana. “Ah, orang Mesir nggak pernah lihat hujan, pantesan saja girangnya minta ampun sekali lihat gerimis” batinku berceloteh.
O, iya di sampingku ada gadis badui hampir saja aku lupa. Akirnya aku berkenalan dengan gadis itu, kami kenalan. “Namaku Ardian Ibrahim ” kataku. “Syaima namaku” katanya sambil pasang senyum bibirnya.
Ya, namanya Syaima, berarti selama ini aku tidak salah tebak, orang-orang sekitar sering panggil dia dengan sebutan itu. Kami bicara panjang lebar selama hujan belum berhenti. Dia bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Umurnya sekarng sembilan belas tahun, dia tidak melanjutkan kuliah karena orangtuanya tidak mamapu, nama ayahnya bernama Abdou. Sedangkan ibunya sudah meninggal karena kangker. Ayahnya bekerja sebagai penjaga apartemen, dan kakaknya, Ahmad Samir dua tahun lebih tua, bekerja sebagai pemulung.
Pertemuanku hari itu di akhiri dengan berhentinya gerimis. “Yah, gerimisnya kok udahan sih!!” batinku. Ingin rasanya aku ngobrol banyak dengannya. Tapi ya sudah, yang penting dia sudah mau berkenalan denganku. Kami mengadakan janji ketemu. Jarang sekali gadis mesir yang mau di ajak ngobrol dengan orang asing yang bukan mahramnya.
Waktu terus berjalan aku semakin dekat dengan Syaima. Sekali aku di ajak mampir ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat ia menjajakan rotinya. Ayahnya, Abdou senang sekali aku bisa berkunjung kerumahnya. “Nawwar bika”7 kata Abdou sambil mengangkat kedua tangannya kemudian di arahkan tangannya padaku. “Bi Nuri kum”8 jawabku sambil pasang senyum dan ku ulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Rupanya Syaima bercerita pada bapaknya ketika aku membantunya saat hujan gerimis membasahi tanah pasir itu. Aku di jamu di rumahnya dengan jamuan ala Mesir.
***
sudah tiga hari ini aku tidak melihat dia berjualan di tempat biasanya, ada apa gerangan? Hati ini semakin gundah, kangen dan selalu terbayang. Ingin sekali rasanya aku bertemu dengannya detik ini. Perasaan ini tidak tenang. Ah, ada apa dengan diriku, aku kan bukan siapa-siapanya, aku hanya seorang pembali rotinya saja yang kemudian aku memberikan pertolongan pada waktu hari hujan? Apa rasa ini yang di namakan cinta? Apa sih ciri-ciri orang jatuh cinta itu?
Malam hari di landa rasa tak menentu, tidak bisa tidur hanya karena memikirkannya.
Sehabis shalat dzuhur ku beranikan untuk berkunjung ke rumahnya. Dan ternyata kosong, rumahnya tidak ada satu orang pun. Aku tanyakan pada tetangga dekat Syaima. katanya keluarga Abdou sudah pulang ke kampungnya karena di usir sama yang punya rumah kontrakan karena sudah beberapa bulan nunggak uang bulanan. “Memang saudara siapanya Abdou?” Tanya tetangga. Akupun kebingungan mau menjawab apa pada tetangganya itu. Padahal antara kami tidak ada hubungan apa-apa, hanya sekedar pernah berkunjung sekali itu saja. “Saya temannya Syaima”, jawabku. “Ada sesuatu yang penting saudara?' Tanyanya, “kalau ada sesuatu yang penting nanti saya sampaikan pada Syaima”.tambahnya. “Iya pak nanti saya mau nitip surat untuk syaima”. “Boleh... boleh.. kebetulan besok lusa saya juga mau pulang ke kampung”.
“ Terimakasih, pak. Kalau gitu saya ntitip surat buat Syaima. , kita ketemuan di depan rumah ini besok sambil saya bawakan surat itu.” pintaku. “Dengan senang hati saya akan sampaikan surat saudara”. jawabnya.
Terimakasih pak. Saya pamit dulu.

Sesampainya di rumah aku menulis surat untuk Syaima,

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Syaima, apa kabarmu? Mudah-mudahan masih dalam naungan kasih sayang-Nya
Sejak aku bertemu denganmu waktu itu, hati ini gundah dan resah. Namun mulut ini kelu untuk mengatakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan ketika itu.
Rindu ini selalu hadir sejak kamu pergi ke kampungmu. Hadirmu dalam mimpiku membuat aku terdorong untuk menuliskan rangkaian kata. Ya, sebuah kalimat pernyataan sebagai bukti aku benar-benar mencintaimu. aku mencintaimu karena Allah, Sayima.
Aku tahu kamu tidak akan kembali lagi ke kota ini kecuali ada sebuah keajaiban yang datang dari-Nya. Tapi paling tidak surat ini bisa melegakan hati piluku yang memendam tumpukan rasa. Rasa cintaku padamu yang aku kubur selama ini. Dan hari ini aku bongkar lewat rangakaian kata-kata. Meskipun rangkaian kata ini menjadi ilusi cintaku.
Sekian, dari Sang empunya hati pilu,

Ardian Ibrahim.


Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh




Tuesday, September 8, 2009

Di Mana Cinta Akan Berlabuh?

Tak dapatku rasakan apa yang ia rasakan saat ini, yang jelaslah aku sekarang dalam keadaan bimbang dan gontai untuk mengungkapkan perasaan ini padanya, aku pun bertanya pada diri sendiri; “perasaan apa ini”. tak ada jawaban. Hanya bergeming di lubuk terdalamku. Dan semakin berjubel saja, seakan meledak sebentar lagi.
Otakpun berputar-putar bak lebah di taruh dalam botol. Tak ada hasil, sia-sia berfikir sesuatu yang tidak rasional.
Namun ada secercah dukungan untuk ku ungkapkan perasaan itu.mungkinkah sama perasaan ini dengan perasaan yang ia miliki detik ini?
berjuta rasa telah hedir, namun satupun tak terungkap hingga menghasilkan bertubi kepenatan tak terhingga karena ada benteng. Jarak dan waktulah yang menghalangi telur untuk menetas, hingga lahirlah ungkapan suci nan abadi.
Aku di hantui oleh masa depan. Aku takut akan masa depanku yang suram, namun itu belum pasti. Haruskah ku beranikan untuk melankah?
dimana nyaliku ini, dimana letakkan kelaki-lakianku ini hingga aku tak dapat berkata apapun untuk dirinya, yang kini mungkin sama seperti apa yang aku rasakan juga. Seklai lagi, karena aku gamang dengan masa depanku.
Ah, namun itu hanya sebuah perasaan saja, perasaan yang menghunjam dan menyiksa jiwa.

Aku harus bertahan sampai ada sebuah keyakinan dalam kantong hati yang bernama cinta. Bukan cinta sembarang cinta, tapi cinta suci yang di landasi karena cinta Ilahi.
Namun kesabaran ini terasa menipis. akan kah aku kuat menghadapai semua ini.?
hari demi hari ku selalu di rundung kidung kerinduan dan nestapa yang tiada belas-kasihannya melemahkan jiwa.
Melemahkan jiwa? Ya melemahkan jiwa.
bukankah cinta Illahi justeru akan menguatkan..?
aku berharap nestapa ku ini tidak mendekatkanku pada nafsu belaka, ya nafsu berahi yang kadang menjerumuskan pada lubang hitam. Lubang apa entah aku tak tahu. Yang akhirnya akan mengarah pada maksiat dan dosa. Ya dosa, dosa yang kadang nikmat, namun hanya sesaat.
Sekalipun rasa ini terus menghunjam jiwa, jiwa yang lemah tak berdaya. Apakah ini yang di namakan cinta?. Namun jika rindu ini melemahkan jiwa, aku yakin ini bukan cinta , tapi ini adalah nafsu belaka yang selalu memojokan diriku supaya terjerumus dalam kubangan cinta dusta yang hanya mengandalakan nafsu berahi. Seklai lagi nafsu berahi yang tak terkendali.

Lubuk hati inipun belum tepat dan tetep untuk tegak dan lurus dalam menyokong kesucian cinta. Pandangan hanya tertuju pada nafsu. Lagi-lagi nafsu yang aku miliki, aku yakin ini bukan cinta , tapi nafsu yang aku miliki. Nafsu berahi yang selalu membuntutiku di mana saja aku berada, akankah aku bisa mengalahkan nafsu ini?
Semoga Dia, Robb penggenggam cinta bisa membantuku dalam mengalahkan nafsu ini.
Aku mohon pada-Mu, Roob sang empunya kasih, kasihanilah aku. Beri aku sedikit dari cinta-Mu sajalah, tak lebih. Dan kuatkan aku dalam menghadapi gejolak nafsu ini hingga aku dapat cinta yang sebenarnya, hingga batin ini benar-benar dalam selimut cinta tanpa ada nafsu angkara murka. Lagi-lagi nafsu. Salahkah nafsu? Tidak salah. Ia hanyalah sebuah rasa yang di titipkan-Nya pada hamba untuk di menej, ya di atur sedemikian rupa, hingga menuju nafsulmuthma'innah.
Keridhoan-Mu, robb yang aku mau.

Ijinkanlah hati ini untuk menentukan di pelabuahan mana cinta ini akan mendarat dan kemudian berlayar dengan sauh kebahagiaan mawaddah wa rahmah.
Siapa saja dia si penerima cinta hasil biasan hati ini, semoga dia berada dalam naungan-Mu ya Robb,
siapa dia yang akan mendampingi sekeping hati ini, hati lain yang mana yang menyatu padu tak terpisah hingga di surga nanti. Cinta yang sejatilah yang akan ku mau, bukan cinta yang berselimutkan nafsu ammaratu bissu'.
Nafsu ammaratu bissu' selalu saja berada di belakang untuk mengintai mengintai. Namun nafsul Muthma'inah jangan biarkan lepas. Semoga nafsu bejat itu terkalahkan.
siapa yang bisa mengalahkannya?
dirikulah yang akan mengalahkannya sendiri dengan bantuan dan Ridho Ilahi Robbi.
Robbi....
Aku mohon jadikan perasaan ini menjadi sebuah ungkapan yang menyejukkan hati orang yang aku labuhkan perasaan ini bersamanya.
aku ingin cinta abadi, secuil dari Cinta kasih-Mu saja.


Saturday, September 5, 2009

Gadis Kampung Badui

Syaima, ya namanya Syaima. Gadis Kampung Badui si penjual roti kering pinggir jalan yang anggun. Aku tahu namanya Sayima dari orang sekitar yang sering memanggilnya begitu. Tinggi semampai dengan kulit putih hidung mancung, bermata kebiru-biruan, dan alis bak bulan tanggal muda. “Kurasa blasteran Inggris Mesir” celetuk temanku yang berjalan di sampingku. Kalau boleh berlebihan dia memang mirip dengan Putiri Diana ratu Inggris korban kecelakaan di sebuah terowongan di samping pont de l'Alma, paris. Hanya saja Sayaima memakai jilbab dan baju kurung khas Timur Tengah.Di bawah terik matahari, ia menjajakan roti keringnya. “Yalla 'isy syams”[1] teriaknya menawarkan dagangannya di pinggiran jalan.
Setiap kali aku berjalan melewati jalan yang sama, yaitu ketika aku mau berangkat berjamaah ke masjid waktu shalat dzuhur dan aku mau berangkat ke masjid waktu shalat asar pun dia masih setia duduk di pinggir jalan dengan roti keringnya yang ia letakkan di atas papan. papan terbuat dari batang kurma sebesar jari tangan yang kemudian di rangkai menjadi keranjang berbentuk kotak berukuran setengah meter. Tak bosannya tatkala ada orang lewat di depannya pasti berteriak “ Yalla 'ishy syams!!!!”.
Suatu ketika terbesit dalam hatiku ingin membeli roti kering pada si gadis itu. Mendekatlah aku padanya, lemparan senyum dari bibirnya. Sungguh membuat detak jantung ini berdetak lebih dari biasanya. Dan aku pun membalas senyumnya.
“bi-kam lil ishy ya ablah'?[2] tanyaku pada gadis badui itu dengan bahasa arabku yang masih kelihatan sekali logat Indoneisa-nya. “bi wahid geneh'?[3] jawabnya njeplak dengan logat Arabn-ya. aku membeli roti keringnya dan ku bawa kerumah. Dalam perjalanan ke rumah ingatanku masih saja pada gadis itu, apa lagi ketika dia melemparkan senyumnya. Ah, aku tidak tahu apa arti senyumnya itu, apa karena dia melihat orang asing yang sedang mendekatinya, atau..? tapi ini tidak biasanya sebagaimana gadis Mesir yang tidak mudah untuk melemparkan senyum pada orang asing, apalagi yang bukan mahramnya. Ah sungguh berjubel perasangka di hati .

“Ah, ternyata keras” kataku sewaktu aku buka bungkusnya dan ku makan roti yang bentuknya mirip piring itu. Waktu itu aku sendiri belum pernah melihat bagaimana orang mesir memakan roti itu.
“ Giginya orang mesir dari baja kali, hehehe”. Joke temanku yang juga mencoba mencicipi roti kering itu. Humm, sejenak aku berfikir. “O iy aku ada susu, Makan aja sambil di celupin ke susu” “wah ide bagus tuh. Iya ternyata enak juga pake susu” kata Joni, temanku.

Beberapa minggu kemudia aku ingin sekali makan roti kering itu lagi, tapi padahal temen-temenku bilang “cukup sekali ini saja aku makan roti kering ini”. Aku mencoba untuk membeli roti itu di tempat biasa, di pinggir jalan yang di jajakan oleh gadis badui itu. Kali ini aku hanya membeli sedikit, hanya tiga saja. Karena temen-temenku pada bilang tidak akan memakan roti itu lagi karena terlalu kerasnya.
Seminggu sekali aku membeli roti dari gadis badui itu. Entah sangat kebetulan sekali ketika aku sedang membeli rotinya tiba-tiba saja hujan gerimis membasahi pasri kering, “ha, kairo hujan?” Batinku dalam hati. Aku bengong beberapa detik. Dahiku mengerut seolah memikirkan sesuatu. Dan seketika itu aku ikut membantu mengangkat papan yang di atasnya ada roti dagangannya untuk di bawa ke tempat yang aman dari hujan gerimis. “syukron”[4] katanya padaku sambil melemparkan senyum. “Afwan”[5] jawabku pelan sambil senyum juga.
Gerimis masih menghiasi kairo. Kurang lebih sepuluh menit kairo di gemparkan dengan gerimis, orang-orang berlarian sambil mengembangkan senyum, senang sekali rasanya. “ Hadza Min fadhli Robbi”[6] kalimat itu terlontar dari bapak-pabak yang merelakan bajunya basah dengan gerimis menuju entah kemana. “Ah, orang Mesir nggak pernah lihat hujan, pantesan saja girangnya minta ampun sekali lihat gerimis” batinku berceloteh.
O iya di sampingku ada gadis badui hampir saja aku lupa. Akirnya aku berkenalan dengan gadis itu, kami kenalan. “Namaku ” kataku. “Syaima namaku” katanya sambil pasang senyum bibirnya.
Ya, namanya Syaima berarti selama ini aku tidak salah tebak, orang-orang sekitar sering panggil dia dengan sebutan itu. Kami bicara panjang lebar selama hujan belum berhenti. Dia bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Umurnya sekarng sembilan belas tahun, dia tidak melanjutkan kuliah karena orangtuanya tidak mamapu, nama ayahnya bernama Abdou. Sedangkan ibunya sudah meninggal karena kangker. Ayahnya bekerja sebagai penjaga apartemen, dan kakaknya, Ahmad Samir dua tahun lebih tua, bekerja sebagai pemulung.

Pertemuanku hari itu di akhiri dengan berhentinya gerimis. “Yah, gerimisnya kok udahan sih!!” batinku. Ingin rasanya aku ngobrol banyak dengannya. Tapi ya sudah, yang penting dia sudah mau berkenalan denganku. Kami mengadakan janji ketemu. Jarang sekali gadis mesir yang mau di ajak ngobrol dengan orang asing yang bukan mahramnya.
Waktu terus berjalan aku semakin dekat dengan Syaima. Sekali aku di ajak mampir ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat ia menjajakan rotinya. Ayahnya, Abdou senang sekali aku bisa berkunjung kerumahnya. “Nawwar bika”[7] kata Abdou sambil mengankat kedua tangannya kemudian di arahkan tangannya padaku. “Bi Nuri kum”[8] jawabku sambil pasang senyum dan ku ulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Rupanya Syaima bercerita pada bapaknya ketika aku membantunya saat hujan gerimis membasahi tanah pasir itu. Aku di jamu di rumahnya dengan jamuan ala Mesir.
***
sudah tiga hari ini aku tidak melihat dia berjualan di tempat biasanya, ada apa gerangan? Hati ini semakin gundah, kangen dan selalu terbayang. Ingin sekali rasanya aku bertemu dengannya detik ini. Perasaan ini tidak tenang. Ah ada apa dengan diriku, aku kan bukan siapa-siapanya aku hanya seorang pembali rotinya saja yang kemudian aku memberikan pertolongan pada waktu hari hujan? Apa rasa ini yang di namakan cinta? Apa sih ciri-ciri orang jatuh cinta itu?
Malam hari di landa rasa tak menentu, tidak bisa tidur hanya karena memikirkannya.
Sehabis shalat dzuhur ku beranikan untuk berkunjung ke rumahnya. Dan ternyata kosong, rumahnya tidak ada satu orang pun. Aku tanyakan pada tetangga dekat Syaima. katanya keluarga Abdou sudah pulang ke kampungnya karena di usir sama yang punya rumah kontrakan karena sudah beberapa bulan nunggak uang bulanan. “Memang saudara siapanya Abdou?” Tanya tetangga. Akupun kebingungan mau menjawab apa pada tetangganya itu. Padahal antara kami tidak ada hubungan apa-apa, hanya sekedar pernah berkunjung sekali itu saja. “Saya temannya Syaima”, jawabku. “Ada sesuatu yang penting saudara?' Tanyanya, “kalau ada sesuatu yang penting nanti saya sampaikan pada Syaima”.tambahnya. “Iya pak nanti saya mau nitip surat untuk syaima”. “Boleh... boleh.. kebetulan besok lusa saya juga mau pulang ke kampung”.
“ Terimakasih, pak. Kalau gitu saya ntitip surat buat Syaima. , kita ketemuan di depan rumah ini besok sambil saya bawakan surat itu.” pintaku. “Dengan senang hati saya akan sampaikan surat saudara”. jawabnya.
Terimakasih pak. Saya pamit dulu.

Sesampainya di rumah aku menulis surat untuk Syaima,

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Syaima, apa kabarmu? Mudah-mudahan masih dalam naungan kasih sayang-Nya
Sejak aku bertemu denganmu waktu itu, hati ini gundah dan resah. Namun mulut ini kelu untuk mengatakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan ketika itu.
Rindu ini selalu hadir sejak kamu pergi ke kampungmu. Hadirmu dalam mimpiku membuat aku terdorong untuk menuliskan rangkaian kata. Ya, sebuah kalimat pernyataan sebagai bukti aku benar-benar mencintaimu. aku mencintaimu karenya Allah.
Aku tahu kamu tidak akan kembali lagi ke kota ini kecuali ada sebuah keajaiban yang datang dari-Nya. Tapi paling tidak surat ini bisa melegakan hati piluku yang memendam tumpukan rasa. Rasa cintaku padamu yang aku kubur selama ini. Dan hari ini aku bongkar lewat rangakaian kata-kata. Meskipun rangkaian kata ini menjadi ilusi cintaku.
Sekian, dari Sang empunya hati pilu,

Ardian Ibrahim.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

kairo 5 september 2009

[1] Isy syams; roti kering mesir. Bentuknya seperti piring yang gemuk, maksud "yalla isy sams"; ayo roti keringnya.....
[2]bikam lil ishy ya ablah?: Berapa harga roti ini wahai, gadis?
[3]bi wahid geneh': Dengan harga satu pound[mesir]
[4]syukron; terimakasih
[5]Afwan: Artinya bermacam2, bisa balasan dari ucapan syukron, bisa juga kalimat permohonan maaf.
[6]Hadza min fadhli Robbi : Ini adalah karunia ilahi
[7]Nawwar bi-ka: Ungkapan orang mesir untuk menyanjung tamu yang mengunjungi rumahnya sebagai tanda kehormatan . Yang kurang lebih artinya; sungguh tempat ini menjadi terang dan bercahaya dengan datangnya anda kemari.
[8]Bi Nuri kum: Jawaban untuk ungkapan Nawwar bika


Thursday, September 3, 2009

Sebutir Kurma

Ya, sebutir kurma. Berbuka puasa hanya dengan beberapa butir kurma di negeri para nabi mengingatkanku dahulu di kampungku waktu buka puasa. Dulu ketika menjelang buka puasa aku pasti bertanya pada ibuku; “bu' sekarang bukanya pakai apa?” , “ya itu yang ada di meja”, jawab ibu singkat. Sejurus kemudian aku menggerutu karenabuka puasanya hanya itu-itu saja ketika itu, {hanya itu!!!!?} padahal yang ketika itu untuk ta'jil-annya saja sudah ada kolak pisang, bakwan, kue apem, dan ada buah mangga, terus untuk makam malamnya sering ibu masak ayam. Aku juga masih saja kurang syukur. Dan tak jarang juga piring atau gelas yang sehabis aku pakai aku letakkan dengan kerasnya hingga menimbulkan bunyi “ prakk”, sebagai bentuk protesku pada ibu. Mengingat itu semua kadang air mata ini mengalir dengan sendririnya. “Sampai segitunya” batinku sekarang.
Namun sekarang berbuka puasa hanya dengan sebutir kurma aku merasa sudah cukup dan bersyukur sekali.
Aku yang jauh dari ibu bapak, yang kalau mau makan aku harus masak sendiri. Dan apalagi ketika menjelang buka puasa dan waktu sahur tiba, aku harus repot-repot menyiapkan segala macam yang ingin aku masak. Eh, belum lagi di coolkas sama sekali tidak ada bahan yang bisa untuk di masak. Waduh, harus belanja kepasar, deh. Alloh.....terimakasih, Engkau masih karuniakan aku badan yang sehat dan sempurna lagi tanpa ada cacat apapun di anggota badanku. Dan Engkau masih memperkenankan aku untuk berbicara dengan orangtuaku meskipun dengan jarak unun jauh disana, yang penting mereka kedua orangtuaku masih tetap sehat wal 'afiyat.
Kadang hati ini di selimuti rindu yang mendalam karena ingin sekali bertemu dengan ke dua orangtua ku, sudah tiga kali puasa dan insya Alloh tigakali lebaran juga aku tidak sungkem pada bapak ibu, aku hanya bisa sungkem lewat telpon yang kadang suara di seberang sana sama sekali tidak jelas, itupun kalau dana untuk telpon ada, kalau tidak ada ya sekedar SMS-an. Ya, semoga dengan ini menambah kecintaanku pada ibu bapakku. Yang dulu ketika di rumah, sama sekali aku tidak pernah mensyukuri dan sadar bahwa aku masih punya ibu dan bapak, Astaghfirullah. Memang jarak yang jauh kadang membuat kita semakin tambah cinta, tamba sayang dan ada rasa kangen. Yang dulu sama sekali tidak ada rasa kangen. Atau ingin sekedar ngobrol atau bahkan bercanda dengan ibu bapak. Tapi perasaan itu baru muncul sekarang. Yang sekarang ketika aku dan ibu bapakku berjauhan.
Sekali lagi terimakasih, Alloh. Karena Engkau masih bisa memberika umur yang panjang kepada ibu bapakku dan terimakasihku karena Engkau masih sadarkan aku untuk selalu mengingat mereka. Aku mohon pertemukan aku nanti dengan ibu bapaku dalam naungan cinta dan kasih sayang-Mu. Begitu juga pertemukan aku dengan kakak dan adikku nanti dalam gendengan tangan mesra-Mu yang ketika kami dulu di rumah sering bertengkar hanya karena persoalan sepele. Dan baru merasakan juga aku di karuniai seorang kakak yang baik hati, yang tiap bulannya harus meluangkan waktunya untuk pergi mondar-mondir ke BANK mentransfer uang untukku, astaghfurullah.....baru sadar juga aku kalau aku iniada seorang kakak yang baik hati. Betapa dan betapanya aku ini.
Segudang nikmat-Mu Engaku limpahkan padaku, Alloh. Terimakasih Alloh. Harus dengan apa aku haru membalas semua ini pada-Mu, Alloh. Dan harus dengan apa juga aku harus membayar semua ini kepada bapak ibu dan kakakku nanti. Dan betapa tidak tahu malunya aku ini yang sudah besar masih saja mengandalankan kiriman uang untuk sekedar uang jajan? Ah, hati ini kalau mengingat itu serasa sakit, namun aku tidak mampu. [Tidak mampu!!?] Atau itu hanya kilahku saja karena aku bermalas-malasan di sini. Alloh, ampuni aku.
Alloh, istiqomahkan aku di jalan ini; menuntut ilmu di negeri orang. Sabarkan aku di kala cobaan-Mu datang kuatkan jasmani dan rohaniku agar aku bisa menjalankan tugas ini dengan sempurna. Dan Berikan aku yang terbaik untuk aku persembahkan pada mereka yang senantiasa berbuat lebih padaku, tak lain adalah Ibu Bapakku dan kakakku. Dan tak lupa seluruh keluarga di rumah yang senantiasa menudkungku di sini. Alloh, aku tahu Engkau maha pengampun atas segala dosa, kepada siapa lagi aku harus meminta ampun selain Engaku?.Tiada lain hanya Engkau, Alloh.


Sign by Dealighted - Coupons and Deals