Friday, October 30, 2009

Abu Qosim dan Sepatu Pembawa Petaka

Jaman dahulu kala di Bagdad ada seorang yang kaya. Abu Qosim namanya. Abu Qosim mempunyai sepasang sepatu yang selama tujuh tahun belum pernah di gantinya. Dan ketika sepatu itu di lepas dari kakinya keluarlah serabut dan serpihan kain yang tidak mengenakkan. Bisa di bayangkan, selama tujuh tahun sepatu itu belum pernah di ganti. Para tetanggapun melihatnya dengan penuh melas dan iba, tak jarang juga ada yang mengumpat melihat Abu Qosim memakainya. Suatu hari salah satu tetangganya bertanya kepada Abu Qosim: “Hai Abu Qosim, apakah sebaiknya kamu buang saja sepatumu yang butut itu, kamu ini kan orang kaya, apakah tidak kepikiran untuk membeli sepatu yang baru lagi?”
“Benar katamu”, kata Abu Qosim. “Aku akan membeli sepatu baru lagi dengan izin Allah Swt”, Sambung Abu Qosim.


Suatu hari Abu Qosim sehabis dari WC umum. Dia keluar dari WC tiba-tiba melihat di samping sepatu bututnya ada sepasang sepatu yang baru dan bagus tentunya, sangka Abu Qosim ada orang yang dermawan yang membelikan sepatu itu untuknya. Bergegas Abu Qosim memakai sapatu baru itu kemudian pulang kerumahnya.
Dan ternyata sepatu baru yang di pakai Abu Qosim adalah milik seorang hakim yang pada waktu itu datang ke WC umum juga. Terang saja sang hakim marah ketika itu karena yang ada hanyalah sepatu butut. Kemudian sang hakim menanyakan masyarakat sekitar. “siapa sih yang tidak tahu sepatunya Abu Qosim itu?”. kemudian sang hakim mengutus pembantunya untuk memanggil Abu Qosim supaya menghadapnya.
Sampailah pembantu sang hakim dengan membawa Abu Qosim ke rumah sang hakim, langsung ditamparnya Abu Qosim oleh sang hakim.” Ini namanya pencurian” kata sang hakim. Tanpa banyak bicara, Abu Qosim di masukkan kedalam penjara sampai beberapa waktu. Kemudian di keluarkanlah Abu Qosim dari penjara setelah membayar denda yang telah di tetapkan.
Setelah Abu Qosim keluar dari penjara. Ia sambil membawa sepatu bututnya, dia merenung sejenak mengenai sepatu itu, kemudian muncul lah akal untuk menghanyutkan sepatu itu di sungai. Di tenggelamkanlah sepatu butut itu kedalam sungai yang kebetulan sungai itu banyak ikannya. Datanglah dua orang ke sungai untuk memancing ikan. Di dapatkannya sepatu butut itu oleh salah satu dari dua orang pemancing itu. “Siapa yang tidak tahu sih sepatu bututnya Abu Qosim?”. Di kiranya Abu Qosim kehilangan sapatu itu, si pemancing berniat baik, di antarkannya sepatu itu ke rumah Abu Qosim. Sampailah pemancing itu di rumah Abu Qosim, pintu tertutup, namun jendela terbuka lebar. Di lemparkanlah sepatu itu melalui jendela, sepatu jatuh tepat mengenai almari kaca milik istri Abu Qosim. Sontak Abu Qosim kaget melihat sepatu butut yang sudah ia tenggelamkan di sungai itu bertengger di almari isterinya yang sudah pecah dan berantakan. “Dasar..!!!! sepatu pembawa petaka, kamu kan sudah aku hanyutkan di sungai, kenapa bisa balik lagi!!!” di caci-makinya sepatu butut itu sambil menampari mukanya sendiri.
Pada suatu malam Abu Qosim mencari cara lain supaya sepatu bututnya tidak membawa petaka lagi. Keluarlah Abu Qosim dari rumahnya sambil mengendap-endap, kemudian di galilah lobang tapat di dekat pagar rumah tetangganya. Ternyata ada seseorang yang mendengar Abu Qosim sedang menggali sesuatu. Sontak ia mengira bahwa Abu Qosim akan merobohkan rumah tetangganya. Melaporlah orang yang melihat perbuatan Abu Qosim tadi kepada polisi, datanglah polisi ke tempat kejadian.” kamu itu orang sinting, ya? Mau kamu apakan rumah tetanggamu itu di gali-gali?. Apa kamu mau merobohkan rumah tetanggamu sendiri?” Umpat Polisi pada Abu Qosim. Tanpa babibu, Abu Qosim pun di borgol kemudian di masukan ke dalam penjara selama bebarapa hari. Keluarlah Abu Qosim dari penjara setelah membayar denda yang di tetapkan dalam pengadilan.
Suatu hari Abu Qosim naik loteng untuk menyimpan sepatunya. Di letkkanlah sepatu itu di loteng, dia pikir sudah aman di situ dan tidak akan membuat masalah lagi. Entah karena kebetulan, pada suatu hari ada seekor anjing yang naik loteng kemudian memungut sepatu itu. Di gondol lah sepatu itu dengan mulutnya sambil keliling loteng. Kemudian anjing itu melemparkannya ke bawah. Sepatu jatuh tepat di kepala orang yang sedang di bawahnya. Celakalah orang yang ada di bawah hingga masuk rumah sakit. “Siapa sih yang tidak kenal sepatu bututnya Abu Qosim?” Maka Abu Qosim pun di adili, karena ia tersangka utama dari kecelakaan itu, yaitu si empunya sepatu. Abu Qosim di tuntut untuk membayar semua biaya rumah sakit dan memberikan nafkah kepada anak isteri orang yang terkena sepatunya, sampai orang itu sembuh dari sakit. Hingga terkuraslah harta Abu Qosim.
Sudah tidak ada jalan lain bagi Abu Qosim untuk menjauhkan sepatu bututnya itu dari hadapannya. Menghadaplah Abu Qosim kepada seorang hakim. Abu Qosim berkata “ Wahai sang hakim, sudikah kiranya engkau mau menuliskan hitam di atas kertas putih sebagai pernyataan bahwa sepatu ini bukan lagi milikku, supaya nanti jika sepatu ini membuat orang terluka, aku sudah bebas dari hukuman?”. Mendengar perkataan Abu Qosim, sang hakim hanya tersenyum dan menuruti apa kata Abu Qosim.*

*Aku terjemah dari buku kursus Bahasa Arab yang di ambil dari buku Qishoshul Arob


Kairo 29 okt 2009

Mawardi

Thursday, October 1, 2009

Semua Meneteskan Airmata Untukku

Kawan, maukah kau aku ceritakan perjalananku menuju negeri ini. Negeri mesir. Negeri para Nabi. Negeri Seribu Menara, kata mereka.
Ya, akan ku ceritakan dalam beberapa baris, bukan dalam bentuk novel, karena aku bukan Habiburrahman el Shirazy yang pandai merangkai kata, mengukir kalimat hingga menjadi beratus dan bahkan beribu-ribu halaman:
Kawan, ketika mengikuti seleksi ujian masuk Universitas al-Alzhar Mesir, aku masih belum ada bayangan tentang Mesir. Bahkan, waktu aku sudah siap; siap fisik, mental, dan materi untuk berangkat aku tidak ada bayangan juga, masih gelap. Yang ada hanyalah, bahwa mesir negeri yang “wah” dengan islamnya. Begitu saja tidak lebih. “Wah” yang bagaimana? Aku pun tidak bisa mendeskripsikannya. Dan itu salahku kenapa aku dulu tidak mau mencari tau informasi ke-mesiran.

Kadang di sini aku menyesal. Menyesal kenapa aku sampai Mesir, [ha! Menyesal?]. Tapi anehnya ternyata justeru aku senang, senang dengan kehidupan sini yang begitu 'santainya'; aku senang bisa berbahasa arab, meskipun tidak amat lancar yang kadang kalau berbicara dengan orang sini, mesir, mereka masih geleng kepala minta pemahamanku. Aku bisa mengenal sedikit dari lagu mesir, aku bisa merasakan indahnya sungai Nile di malam hari, aku bisa merasakan lelahnya mendaki puncak Tursina, yang konon di sana Nabi Musa. as. pernah minta pada Allah swt agar bisa melihat-Nya, “Robby arini andur ilaik” Allah pun menjawab, “Kamu nggak bakalan bisa melihatku, lihatlah gunung itu jika masih tetap dalam kondisinya mungkin kamu akan bisa melihatku” namun akhirnya gunung itu luluh lantak dan Nabi Musa pun tersungkur dan akhirnya mohon ampun.
Dan satu lagi, disini aku bisa masak sendiri, yang bisa di nikmati oleh teman-temanku. Meskipun selama tiga tahun ini aku masak belum pernah ada kaum Hawa yang mencicipinya, yang penting kaum Adam sudah menyatakan "wah enak masakanmu".

Kadang-kadang aku terbuai dengan hangatnya selimut di musing dingin, dan aku benci dengan ganasnya matahari di musim panas hingga aku malas untuk keluar apartemen. Ya, malas, malas untuk hadir di kegiatan-kegiatan di Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia, Kairo, apalagi sampai menghadiri pengajian di masjid al-Azhar, yang akrab biasa di sebut 'talaqi'.
Kembali pada perjalananku menuju kairo, mesir.
Taukah kawan?, ketika itu bapakku mendo'akanku tepat di depan pintu sembari menengadahkan tangan setelah koper dan segala macam keperluan aku persiapkan, dan siap ku jinjing keluar rumah. Aku menangis di pangkuan ibu setelah aku medengar do'a bapak yang diiringi tangis beliau. Ibu pun turut menangis dan seluruh kerabatku ikut meneteskan air mata.

Kawan, baru kali pertama itu aku menangis di pangkuan ibuku. Aku turut menangis saat mendengar isak tangis ibuku. Ah, sungguh mengharukan, yang sampai detik ini aku tak dapat menghilangakan kenangan itu, ya aku nggak bakalan menghilangakan moment itu, karena moment itu adalah moment yang teramat penting jikalau ku lupakan.
Sesampainya di bandara Soekarno-Hatta, cengkareng. Bapakku dan seluruh kerabat yang mengantarku kembali meneteskan air mata. Lambaian tangan berseling lelehan air mata. Barat hati ini meninggalkan indonesia, berat hati ini meninggalkan kampung halaman, berat hati ini meninggalkan bapak, ibu, kakak, adik dan kerabat, berat meninggalkan suara alam desa, berat meninggalkan suasana pegunungan yang sejuk, berat, berat dan berat sekali. Namun demi cita-cita dan ambisiku yang terkubur. Ya, yang terkubur lama, memang sejak kecil aku berandai-andai bisa menuntut ilmu di universitas al-Azhar, mesir.
Aku balas lambaian tangan mereka, ku paksakan untuk senyum, namun air mata ini mengiringi senyumku. Ya, senyumku di iringi lelehan airmata.
Tangis ibu, bapak dan seluruh keluarga adalah tangis yang mengandung sebuah doa; nak pulanglah segera, jangan lama-lama kau di sana, kami yang di sini menanti kembalimu membawa ilmu yang bermanfaat untuk nusa dan bangsa sekalipun kau bangun desamu. Ah, sungguh mengharukan ketika itu,. Aku berharap kejadian itu akan selalu terngiang dan menjadikan pulihnya semangat untuk menuntut ilmu yang berguna tuk masa depan nanti.
Maafkan aku, bapak, ibu dan seluruh yang mengharapkan kembaliku, aku tidak segera kembali sesuai apa yang di harapkan. Dua kali aku gagal. Dan yang seharusnya tahun depan aku pulang tapi aku harus menempuh hidup di sini selama kurang lebih tiga tahun lagi. Ya, tigat ahun waktu yang singkat untuk aku di sini. Namun, waktu yang begitu lama untuk bapak, ibu dan orang-orang yang mengharapkan dan menungguku. Semoga detik ini, menit ini dan jam ini, Bapak, Ibu, dan seluruh kerabat belum beranjak dari sajadah sembari menengadahkan tangan mereka untuk mendoakanku disini.
Semoga Allah selalu memberikan kekuatan dan kesabaran untuk bangkit kembali, amin.

Friday, September 11, 2009

Sebutir Kurma

Ya, sebutir kurma. Berbuka puasa hanya dengan beberapa butir kurma di negeri para Nabi mengingatkanku dahulu di kampungku waktu buka puasa. Dulu ketika menjelang buka puasa aku pasti bertanya pada ibuku; “Bu' sekarang bukanya pakai apa?” , “ya itu yang ada di meja”, jawab ibu singkat. Sejurus kemudian aku menggerutu karena buka puasanya hanya itu-itu saja ketika itu. {hanya itu!!!!?} padahal yang ketika itu untuk ta'jil-annya saja sudah ada kolak pisang, bakwan, kue apem, dan ada buah mangga, terus untuk makam malamnya sering ibu masak ayam. Aku juga masih saja kurang syukur. Dan tak jarang juga piring atau gelas yang sehabis aku pakai aku letakkan dengan kerasnya hingga menimbulkan bunyi “ prakk”, sebagai bentuk protesku pada ibu. Mengingat itu semua kadang air mata ini mengalir dengan sendririnya. “Sampai segitunya” batinku sekarang.Namun sekarang berbuka puasa hanya dengan sebutir kurma aku merasa sudah cukup dan bersyukur sekali.
Aku yang jauh dari ibu dan bapak, yang kalau mau makan aku harus masak sendiri. Dan apalagi ketika menjelang buka puasa dan waktu sahur tiba, aku harus repot-repot menyiapkan segala macam yang ingin aku masak. Eh, belum lagi di coolkas sama sekali tidak ada bahan yang bisa untuk di masak. Waduh, harus belanja kepasar, deh.
Alloh.....terimakasih, Engkau masih karuniakan aku badan yang sehat dan sempurna lagi tanpa ada cacat apapun di anggota badanku. Dan Engkau masih memperkenankan aku untuk berbicara dengan orangtuaku meskipun dengan jarak unun jauh disana, yang penting mereka kedua orangtuaku masih tetap sehat wal 'afiyat.
Kadang hati ini di selimuti rindu yang mendalam karena ingin sekali bertemu dengan ke dua orangtua ku, sudah tiga kali puasa dan insya Alloh tigakali lebaran juga aku tidak “sungkem” pada bapak ibu, aku hanya bisa “sungkem” lewat telpon yang kadang suara di seberang sana sama sekali tidak jelas, itupun kalau dana untuk telpon ada, kalau tidak ada ya sekedar SMS-an. Ya, semoga dengan ini menambah kecintaanku pada ibu dan bapakku. Yang dulu ketika di rumah, sama sekali aku tidak pernah mensyukuri dan sadar bahwa aku masih punya ibu dan bapak, Astaghfirullah. Memang jarak yang jauh kadang membuat kita semakin tambah cinta, tamba sayang dan ada rasa kangen. ya. Kangen dan rindu yang begitu mendalam.
Yang dulu sama sekali tidak ada rasa kangen. Atau ingin sekedar ngobrol atau bahkan bercanda dengan ibu bapak. Tapi perasaan itu baru muncul sekarang. Yang sekarang ketika aku dan ibu bapakku berjauhan.
Sekali lagi terimakasih, Alloh. Karena Engkau masih bisa memberika umur yang panjang kepada ibu dan bapakku dan terimakasihku karena Engkau masih sadarkan aku untuk selalu mengingat mereka. Aku mohon pertemukan aku nanti dengan ibu bapaku dalam naungan cinta dan kasih sayang-Mu. Begitu juga pertemukan aku dengan kakak dan adikku nanti dalam gendengan tangan mesra-Mu yang ketika kami dulu di rumah sering bertengkar hanya karena persoalan “sepele”. Dan baru merasakan juga aku di karuniai seorang kakak yang baik hati, yang tiap bulannya harus meluangkan waktunya untuk pergi mondar-mondir ke BANK mentransfer uang untukku, astaghfurullah.....baru sadar juga aku kalau aku ini mempunyai seorang kakak yang baik hati. Betapa dan betapanya aku ini.
Segudang nikmat-Mu Engaku limpahkan padaku, Alloh. Terimakasih Alloh. Harus dengan apa aku haru membalas semua ini pada-Mu, Allah. Dan harus dengan apa juga aku harus membayar semua ini kepada ibu bapak dan kakakku nanti. Dan betapa tidak tahu malunya aku ini yang sudah besar masih saja mengandalankan kiriman uang untuk sekedar uang jajan? Ah, hati ini kalau mengingat itu serasa sakit, namun aku tidak mampu. [Tidak mampu!!?] Atau itu hanya kilahku saja karena aku bermalas-malasan di sini. Alloh, ampuni aku.
Allah, istiqomahkan aku di jalan ini; menuntut ilmu di negeri orang. Sabarkan aku di kala cobaan-Mu datang kuatkan jasmani dan rohaniku agar aku bisa menjalankan tugas ini dengan sempurna. Dan Berikan aku yang terbaik untuk aku persembahkan pada mereka yang senantiasa berbuat lebih padaku, tak lain adalah Ibu Bapakku dan kakakku. Dan tak lupa seluruh keluarga di rumah yang senantiasa menudkungku di sini. Alloah, aku tahu Engkau maha pengampun atas segala dosa, kepada siapa lagi aku harus meminta ampun selain Engaku?.Tiada lain hanya Engkau, Alloh.

Gadis Kampung Badui

Syaima, ya namanya Syaima. Gadis kampung badui si penjual roti kering pinggir jalan yang anggun. Aku tahu namanya Sayima dari orang sekitar yang sering memanggilnya begitu. Tinggi semampai dengan kulit putih, hidung mancung, bermata kebiru-biruan, dan alisnya bak bulan tanggal muda. “Kurasa blasteran Inggris-Mesir” celetuk temanku yang berjalan di sampingku. Kalau boleh berlebihan dia memang mirip dengan Putiri Diana, ratu Inggris korban kecelakaan di sebuah terowongan di samping pont de l'Alma, paris. Hanya saja Syaima memakai jilbab dan baju kurung khas Timur Tengah.
Di bawah terik matahari, ia menjajakan roti keringnya. “Yalla 'isy syams”1 teriaknya menawarkan dagangannya di pinggiran jalan.
Setiap kali aku berjalan melewati jalan yang sama, yaitu ketika aku mau berangkat berjamaah ke masjid waktu shalat dzuhur dan aku mau berangkat ke masjid waktu shalat asar pun dia masih setia duduk di pinggir jalan dengan roti keringnya yang ia letakkan di atas papan. Papan yang terbuat dari batang kurma sebesar jari tangan yang kemudian di rangkai menjadi keranjang berbentuk kotak berukuran setengah meter. Tak bosannya ia tatkala ada orang lewat di depannya pasti berteriak “ Yalla 'ishy syams!!!!”.
Suatu ketika terbesit dalam hatiku ingin membeli roti kering pada si gadis itu. Mendekatlah aku padanya, lemparan senyum dari bibirnya. Sungguh membuat detak jantung ini berdetak lebih dari biasanya. Dan aku pun membalas senyumnya.
“bikam lil ishy ya ablah'?2 tanyaku pada gadis badui itu dengan bahasa arabku yang masih kelihatan sekali logat Indoneisa-nya. “bi wahid geneh'?3 jawabnya njeplak dengan logat Arabn-ya. aku membeli roti keringnya dan ku bawa kerumah. Dalam perjalanan ke rumah ingatanku masih saja pada gadis itu, apa lagi ketika dia melemparkan senyumnya. Ah, aku tidak tahu apa arti senyumnya itu, apa karena dia melihat orang asing yang sedang mendekatinya, atau..?. Tapi ini tidak biasanya sebagaimana gadis Mesir yang tidak mudah untuk melemparkan senyum pada orang asing, apalagi yang bukan mahramnya. Ah sungguh berjubel perasangka di hati .

“Ah, ternyata keras sekali rotinya” kataku sewaktu aku membuka bungkusnya dan ku makan roti yang bentuknya mirip piring itu. Waktu itu aku sendiri belum pernah melihat bagaimana orang mesir memakan roti itu.
“ Giginya orang mesir terbuat dari baja kali, hehehe”. Joke temanku yang juga mencoba mencicipi roti kering itu. Humm, sejenak aku berfikir. “O iy aku ada susu, Makan aja sambil di celupin ke susu” “wah ide bagus tuh. Iya ternyata enak juga pake susu” kata Joni, temanku.
***

Beberapa minggu kemudia aku ingin sekali makan roti kering itu lagi, tapi padahal temen-temenku bilang “cukup sekali ini saja aku makan roti kering ini”. Aku mencoba untuk membeli roti itu di tempat biasa, di pinggir jalan yang di jajakan oleh gadis badui itu. Kali ini aku hanya membeli sedikit, hanya tiga saja. Karena temen-temenku pada bilang tidak akan memakan roti itu lagi karena terlalu kerasnya.
Seminggu sekali aku membeli roti dari gadis badui itu. Entah sangat kebetulan sekali ketika aku sedang membeli rotinya tiba-tiba saja hujan gerimis membasahi pasir kering, “ha, kairo hujan?” Batinku dalam hati. Aku bengong beberapa detik. Dahiku mengerut, aku memikirkan sesuatu. Dan seketika itu aku ikut membantu mengangkat papan yang di atasnya ada roti dagangannya untuk di bawa ke tempat yang aman dari hujan gerimis. “syukron”4 katanya padaku sambil melemparkan senyum. “Afwan”5 jawabku pelan sambil senyum juga.
Gerimis masih menghiasi kairo. Kurang lebih sepuluh menit kairo di gemparkan dengan gerimis, orang-orang berlarian sambil mengembangkan senyum, senang sekali rasanya. “ Hadza min fadhli Robbi”6 kalimat itu terlontar dari bapak-pabak yang merelakan bajunya basah dengan gerimis menuju entah kemana. “Ah, orang Mesir nggak pernah lihat hujan, pantesan saja girangnya minta ampun sekali lihat gerimis” batinku berceloteh.
O, iya di sampingku ada gadis badui hampir saja aku lupa. Akirnya aku berkenalan dengan gadis itu, kami kenalan. “Namaku Ardian Ibrahim ” kataku. “Syaima namaku” katanya sambil pasang senyum bibirnya.
Ya, namanya Syaima, berarti selama ini aku tidak salah tebak, orang-orang sekitar sering panggil dia dengan sebutan itu. Kami bicara panjang lebar selama hujan belum berhenti. Dia bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Umurnya sekarng sembilan belas tahun, dia tidak melanjutkan kuliah karena orangtuanya tidak mamapu, nama ayahnya bernama Abdou. Sedangkan ibunya sudah meninggal karena kangker. Ayahnya bekerja sebagai penjaga apartemen, dan kakaknya, Ahmad Samir dua tahun lebih tua, bekerja sebagai pemulung.
Pertemuanku hari itu di akhiri dengan berhentinya gerimis. “Yah, gerimisnya kok udahan sih!!” batinku. Ingin rasanya aku ngobrol banyak dengannya. Tapi ya sudah, yang penting dia sudah mau berkenalan denganku. Kami mengadakan janji ketemu. Jarang sekali gadis mesir yang mau di ajak ngobrol dengan orang asing yang bukan mahramnya.
Waktu terus berjalan aku semakin dekat dengan Syaima. Sekali aku di ajak mampir ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat ia menjajakan rotinya. Ayahnya, Abdou senang sekali aku bisa berkunjung kerumahnya. “Nawwar bika”7 kata Abdou sambil mengangkat kedua tangannya kemudian di arahkan tangannya padaku. “Bi Nuri kum”8 jawabku sambil pasang senyum dan ku ulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Rupanya Syaima bercerita pada bapaknya ketika aku membantunya saat hujan gerimis membasahi tanah pasir itu. Aku di jamu di rumahnya dengan jamuan ala Mesir.
***
sudah tiga hari ini aku tidak melihat dia berjualan di tempat biasanya, ada apa gerangan? Hati ini semakin gundah, kangen dan selalu terbayang. Ingin sekali rasanya aku bertemu dengannya detik ini. Perasaan ini tidak tenang. Ah, ada apa dengan diriku, aku kan bukan siapa-siapanya, aku hanya seorang pembali rotinya saja yang kemudian aku memberikan pertolongan pada waktu hari hujan? Apa rasa ini yang di namakan cinta? Apa sih ciri-ciri orang jatuh cinta itu?
Malam hari di landa rasa tak menentu, tidak bisa tidur hanya karena memikirkannya.
Sehabis shalat dzuhur ku beranikan untuk berkunjung ke rumahnya. Dan ternyata kosong, rumahnya tidak ada satu orang pun. Aku tanyakan pada tetangga dekat Syaima. katanya keluarga Abdou sudah pulang ke kampungnya karena di usir sama yang punya rumah kontrakan karena sudah beberapa bulan nunggak uang bulanan. “Memang saudara siapanya Abdou?” Tanya tetangga. Akupun kebingungan mau menjawab apa pada tetangganya itu. Padahal antara kami tidak ada hubungan apa-apa, hanya sekedar pernah berkunjung sekali itu saja. “Saya temannya Syaima”, jawabku. “Ada sesuatu yang penting saudara?' Tanyanya, “kalau ada sesuatu yang penting nanti saya sampaikan pada Syaima”.tambahnya. “Iya pak nanti saya mau nitip surat untuk syaima”. “Boleh... boleh.. kebetulan besok lusa saya juga mau pulang ke kampung”.
“ Terimakasih, pak. Kalau gitu saya ntitip surat buat Syaima. , kita ketemuan di depan rumah ini besok sambil saya bawakan surat itu.” pintaku. “Dengan senang hati saya akan sampaikan surat saudara”. jawabnya.
Terimakasih pak. Saya pamit dulu.

Sesampainya di rumah aku menulis surat untuk Syaima,

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Syaima, apa kabarmu? Mudah-mudahan masih dalam naungan kasih sayang-Nya
Sejak aku bertemu denganmu waktu itu, hati ini gundah dan resah. Namun mulut ini kelu untuk mengatakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan ketika itu.
Rindu ini selalu hadir sejak kamu pergi ke kampungmu. Hadirmu dalam mimpiku membuat aku terdorong untuk menuliskan rangkaian kata. Ya, sebuah kalimat pernyataan sebagai bukti aku benar-benar mencintaimu. aku mencintaimu karena Allah, Sayima.
Aku tahu kamu tidak akan kembali lagi ke kota ini kecuali ada sebuah keajaiban yang datang dari-Nya. Tapi paling tidak surat ini bisa melegakan hati piluku yang memendam tumpukan rasa. Rasa cintaku padamu yang aku kubur selama ini. Dan hari ini aku bongkar lewat rangakaian kata-kata. Meskipun rangkaian kata ini menjadi ilusi cintaku.
Sekian, dari Sang empunya hati pilu,

Ardian Ibrahim.


Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh




Tuesday, September 8, 2009

Di Mana Cinta Akan Berlabuh?

Tak dapatku rasakan apa yang ia rasakan saat ini, yang jelaslah aku sekarang dalam keadaan bimbang dan gontai untuk mengungkapkan perasaan ini padanya, aku pun bertanya pada diri sendiri; “perasaan apa ini”. tak ada jawaban. Hanya bergeming di lubuk terdalamku. Dan semakin berjubel saja, seakan meledak sebentar lagi.
Otakpun berputar-putar bak lebah di taruh dalam botol. Tak ada hasil, sia-sia berfikir sesuatu yang tidak rasional.
Namun ada secercah dukungan untuk ku ungkapkan perasaan itu.mungkinkah sama perasaan ini dengan perasaan yang ia miliki detik ini?
berjuta rasa telah hedir, namun satupun tak terungkap hingga menghasilkan bertubi kepenatan tak terhingga karena ada benteng. Jarak dan waktulah yang menghalangi telur untuk menetas, hingga lahirlah ungkapan suci nan abadi.
Aku di hantui oleh masa depan. Aku takut akan masa depanku yang suram, namun itu belum pasti. Haruskah ku beranikan untuk melankah?
dimana nyaliku ini, dimana letakkan kelaki-lakianku ini hingga aku tak dapat berkata apapun untuk dirinya, yang kini mungkin sama seperti apa yang aku rasakan juga. Seklai lagi, karena aku gamang dengan masa depanku.
Ah, namun itu hanya sebuah perasaan saja, perasaan yang menghunjam dan menyiksa jiwa.

Aku harus bertahan sampai ada sebuah keyakinan dalam kantong hati yang bernama cinta. Bukan cinta sembarang cinta, tapi cinta suci yang di landasi karena cinta Ilahi.
Namun kesabaran ini terasa menipis. akan kah aku kuat menghadapai semua ini.?
hari demi hari ku selalu di rundung kidung kerinduan dan nestapa yang tiada belas-kasihannya melemahkan jiwa.
Melemahkan jiwa? Ya melemahkan jiwa.
bukankah cinta Illahi justeru akan menguatkan..?
aku berharap nestapa ku ini tidak mendekatkanku pada nafsu belaka, ya nafsu berahi yang kadang menjerumuskan pada lubang hitam. Lubang apa entah aku tak tahu. Yang akhirnya akan mengarah pada maksiat dan dosa. Ya dosa, dosa yang kadang nikmat, namun hanya sesaat.
Sekalipun rasa ini terus menghunjam jiwa, jiwa yang lemah tak berdaya. Apakah ini yang di namakan cinta?. Namun jika rindu ini melemahkan jiwa, aku yakin ini bukan cinta , tapi ini adalah nafsu belaka yang selalu memojokan diriku supaya terjerumus dalam kubangan cinta dusta yang hanya mengandalakan nafsu berahi. Seklai lagi nafsu berahi yang tak terkendali.

Lubuk hati inipun belum tepat dan tetep untuk tegak dan lurus dalam menyokong kesucian cinta. Pandangan hanya tertuju pada nafsu. Lagi-lagi nafsu yang aku miliki, aku yakin ini bukan cinta , tapi nafsu yang aku miliki. Nafsu berahi yang selalu membuntutiku di mana saja aku berada, akankah aku bisa mengalahkan nafsu ini?
Semoga Dia, Robb penggenggam cinta bisa membantuku dalam mengalahkan nafsu ini.
Aku mohon pada-Mu, Roob sang empunya kasih, kasihanilah aku. Beri aku sedikit dari cinta-Mu sajalah, tak lebih. Dan kuatkan aku dalam menghadapi gejolak nafsu ini hingga aku dapat cinta yang sebenarnya, hingga batin ini benar-benar dalam selimut cinta tanpa ada nafsu angkara murka. Lagi-lagi nafsu. Salahkah nafsu? Tidak salah. Ia hanyalah sebuah rasa yang di titipkan-Nya pada hamba untuk di menej, ya di atur sedemikian rupa, hingga menuju nafsulmuthma'innah.
Keridhoan-Mu, robb yang aku mau.

Ijinkanlah hati ini untuk menentukan di pelabuahan mana cinta ini akan mendarat dan kemudian berlayar dengan sauh kebahagiaan mawaddah wa rahmah.
Siapa saja dia si penerima cinta hasil biasan hati ini, semoga dia berada dalam naungan-Mu ya Robb,
siapa dia yang akan mendampingi sekeping hati ini, hati lain yang mana yang menyatu padu tak terpisah hingga di surga nanti. Cinta yang sejatilah yang akan ku mau, bukan cinta yang berselimutkan nafsu ammaratu bissu'.
Nafsu ammaratu bissu' selalu saja berada di belakang untuk mengintai mengintai. Namun nafsul Muthma'inah jangan biarkan lepas. Semoga nafsu bejat itu terkalahkan.
siapa yang bisa mengalahkannya?
dirikulah yang akan mengalahkannya sendiri dengan bantuan dan Ridho Ilahi Robbi.
Robbi....
Aku mohon jadikan perasaan ini menjadi sebuah ungkapan yang menyejukkan hati orang yang aku labuhkan perasaan ini bersamanya.
aku ingin cinta abadi, secuil dari Cinta kasih-Mu saja.


Saturday, September 5, 2009

Gadis Kampung Badui

Syaima, ya namanya Syaima. Gadis Kampung Badui si penjual roti kering pinggir jalan yang anggun. Aku tahu namanya Sayima dari orang sekitar yang sering memanggilnya begitu. Tinggi semampai dengan kulit putih hidung mancung, bermata kebiru-biruan, dan alis bak bulan tanggal muda. “Kurasa blasteran Inggris Mesir” celetuk temanku yang berjalan di sampingku. Kalau boleh berlebihan dia memang mirip dengan Putiri Diana ratu Inggris korban kecelakaan di sebuah terowongan di samping pont de l'Alma, paris. Hanya saja Sayaima memakai jilbab dan baju kurung khas Timur Tengah.Di bawah terik matahari, ia menjajakan roti keringnya. “Yalla 'isy syams”[1] teriaknya menawarkan dagangannya di pinggiran jalan.
Setiap kali aku berjalan melewati jalan yang sama, yaitu ketika aku mau berangkat berjamaah ke masjid waktu shalat dzuhur dan aku mau berangkat ke masjid waktu shalat asar pun dia masih setia duduk di pinggir jalan dengan roti keringnya yang ia letakkan di atas papan. papan terbuat dari batang kurma sebesar jari tangan yang kemudian di rangkai menjadi keranjang berbentuk kotak berukuran setengah meter. Tak bosannya tatkala ada orang lewat di depannya pasti berteriak “ Yalla 'ishy syams!!!!”.
Suatu ketika terbesit dalam hatiku ingin membeli roti kering pada si gadis itu. Mendekatlah aku padanya, lemparan senyum dari bibirnya. Sungguh membuat detak jantung ini berdetak lebih dari biasanya. Dan aku pun membalas senyumnya.
“bi-kam lil ishy ya ablah'?[2] tanyaku pada gadis badui itu dengan bahasa arabku yang masih kelihatan sekali logat Indoneisa-nya. “bi wahid geneh'?[3] jawabnya njeplak dengan logat Arabn-ya. aku membeli roti keringnya dan ku bawa kerumah. Dalam perjalanan ke rumah ingatanku masih saja pada gadis itu, apa lagi ketika dia melemparkan senyumnya. Ah, aku tidak tahu apa arti senyumnya itu, apa karena dia melihat orang asing yang sedang mendekatinya, atau..? tapi ini tidak biasanya sebagaimana gadis Mesir yang tidak mudah untuk melemparkan senyum pada orang asing, apalagi yang bukan mahramnya. Ah sungguh berjubel perasangka di hati .

“Ah, ternyata keras” kataku sewaktu aku buka bungkusnya dan ku makan roti yang bentuknya mirip piring itu. Waktu itu aku sendiri belum pernah melihat bagaimana orang mesir memakan roti itu.
“ Giginya orang mesir dari baja kali, hehehe”. Joke temanku yang juga mencoba mencicipi roti kering itu. Humm, sejenak aku berfikir. “O iy aku ada susu, Makan aja sambil di celupin ke susu” “wah ide bagus tuh. Iya ternyata enak juga pake susu” kata Joni, temanku.

Beberapa minggu kemudia aku ingin sekali makan roti kering itu lagi, tapi padahal temen-temenku bilang “cukup sekali ini saja aku makan roti kering ini”. Aku mencoba untuk membeli roti itu di tempat biasa, di pinggir jalan yang di jajakan oleh gadis badui itu. Kali ini aku hanya membeli sedikit, hanya tiga saja. Karena temen-temenku pada bilang tidak akan memakan roti itu lagi karena terlalu kerasnya.
Seminggu sekali aku membeli roti dari gadis badui itu. Entah sangat kebetulan sekali ketika aku sedang membeli rotinya tiba-tiba saja hujan gerimis membasahi pasri kering, “ha, kairo hujan?” Batinku dalam hati. Aku bengong beberapa detik. Dahiku mengerut seolah memikirkan sesuatu. Dan seketika itu aku ikut membantu mengangkat papan yang di atasnya ada roti dagangannya untuk di bawa ke tempat yang aman dari hujan gerimis. “syukron”[4] katanya padaku sambil melemparkan senyum. “Afwan”[5] jawabku pelan sambil senyum juga.
Gerimis masih menghiasi kairo. Kurang lebih sepuluh menit kairo di gemparkan dengan gerimis, orang-orang berlarian sambil mengembangkan senyum, senang sekali rasanya. “ Hadza Min fadhli Robbi”[6] kalimat itu terlontar dari bapak-pabak yang merelakan bajunya basah dengan gerimis menuju entah kemana. “Ah, orang Mesir nggak pernah lihat hujan, pantesan saja girangnya minta ampun sekali lihat gerimis” batinku berceloteh.
O iya di sampingku ada gadis badui hampir saja aku lupa. Akirnya aku berkenalan dengan gadis itu, kami kenalan. “Namaku ” kataku. “Syaima namaku” katanya sambil pasang senyum bibirnya.
Ya, namanya Syaima berarti selama ini aku tidak salah tebak, orang-orang sekitar sering panggil dia dengan sebutan itu. Kami bicara panjang lebar selama hujan belum berhenti. Dia bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Umurnya sekarng sembilan belas tahun, dia tidak melanjutkan kuliah karena orangtuanya tidak mamapu, nama ayahnya bernama Abdou. Sedangkan ibunya sudah meninggal karena kangker. Ayahnya bekerja sebagai penjaga apartemen, dan kakaknya, Ahmad Samir dua tahun lebih tua, bekerja sebagai pemulung.

Pertemuanku hari itu di akhiri dengan berhentinya gerimis. “Yah, gerimisnya kok udahan sih!!” batinku. Ingin rasanya aku ngobrol banyak dengannya. Tapi ya sudah, yang penting dia sudah mau berkenalan denganku. Kami mengadakan janji ketemu. Jarang sekali gadis mesir yang mau di ajak ngobrol dengan orang asing yang bukan mahramnya.
Waktu terus berjalan aku semakin dekat dengan Syaima. Sekali aku di ajak mampir ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat ia menjajakan rotinya. Ayahnya, Abdou senang sekali aku bisa berkunjung kerumahnya. “Nawwar bika”[7] kata Abdou sambil mengankat kedua tangannya kemudian di arahkan tangannya padaku. “Bi Nuri kum”[8] jawabku sambil pasang senyum dan ku ulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Rupanya Syaima bercerita pada bapaknya ketika aku membantunya saat hujan gerimis membasahi tanah pasir itu. Aku di jamu di rumahnya dengan jamuan ala Mesir.
***
sudah tiga hari ini aku tidak melihat dia berjualan di tempat biasanya, ada apa gerangan? Hati ini semakin gundah, kangen dan selalu terbayang. Ingin sekali rasanya aku bertemu dengannya detik ini. Perasaan ini tidak tenang. Ah ada apa dengan diriku, aku kan bukan siapa-siapanya aku hanya seorang pembali rotinya saja yang kemudian aku memberikan pertolongan pada waktu hari hujan? Apa rasa ini yang di namakan cinta? Apa sih ciri-ciri orang jatuh cinta itu?
Malam hari di landa rasa tak menentu, tidak bisa tidur hanya karena memikirkannya.
Sehabis shalat dzuhur ku beranikan untuk berkunjung ke rumahnya. Dan ternyata kosong, rumahnya tidak ada satu orang pun. Aku tanyakan pada tetangga dekat Syaima. katanya keluarga Abdou sudah pulang ke kampungnya karena di usir sama yang punya rumah kontrakan karena sudah beberapa bulan nunggak uang bulanan. “Memang saudara siapanya Abdou?” Tanya tetangga. Akupun kebingungan mau menjawab apa pada tetangganya itu. Padahal antara kami tidak ada hubungan apa-apa, hanya sekedar pernah berkunjung sekali itu saja. “Saya temannya Syaima”, jawabku. “Ada sesuatu yang penting saudara?' Tanyanya, “kalau ada sesuatu yang penting nanti saya sampaikan pada Syaima”.tambahnya. “Iya pak nanti saya mau nitip surat untuk syaima”. “Boleh... boleh.. kebetulan besok lusa saya juga mau pulang ke kampung”.
“ Terimakasih, pak. Kalau gitu saya ntitip surat buat Syaima. , kita ketemuan di depan rumah ini besok sambil saya bawakan surat itu.” pintaku. “Dengan senang hati saya akan sampaikan surat saudara”. jawabnya.
Terimakasih pak. Saya pamit dulu.

Sesampainya di rumah aku menulis surat untuk Syaima,

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Syaima, apa kabarmu? Mudah-mudahan masih dalam naungan kasih sayang-Nya
Sejak aku bertemu denganmu waktu itu, hati ini gundah dan resah. Namun mulut ini kelu untuk mengatakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan ketika itu.
Rindu ini selalu hadir sejak kamu pergi ke kampungmu. Hadirmu dalam mimpiku membuat aku terdorong untuk menuliskan rangkaian kata. Ya, sebuah kalimat pernyataan sebagai bukti aku benar-benar mencintaimu. aku mencintaimu karenya Allah.
Aku tahu kamu tidak akan kembali lagi ke kota ini kecuali ada sebuah keajaiban yang datang dari-Nya. Tapi paling tidak surat ini bisa melegakan hati piluku yang memendam tumpukan rasa. Rasa cintaku padamu yang aku kubur selama ini. Dan hari ini aku bongkar lewat rangakaian kata-kata. Meskipun rangkaian kata ini menjadi ilusi cintaku.
Sekian, dari Sang empunya hati pilu,

Ardian Ibrahim.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

kairo 5 september 2009

[1] Isy syams; roti kering mesir. Bentuknya seperti piring yang gemuk, maksud "yalla isy sams"; ayo roti keringnya.....
[2]bikam lil ishy ya ablah?: Berapa harga roti ini wahai, gadis?
[3]bi wahid geneh': Dengan harga satu pound[mesir]
[4]syukron; terimakasih
[5]Afwan: Artinya bermacam2, bisa balasan dari ucapan syukron, bisa juga kalimat permohonan maaf.
[6]Hadza min fadhli Robbi : Ini adalah karunia ilahi
[7]Nawwar bi-ka: Ungkapan orang mesir untuk menyanjung tamu yang mengunjungi rumahnya sebagai tanda kehormatan . Yang kurang lebih artinya; sungguh tempat ini menjadi terang dan bercahaya dengan datangnya anda kemari.
[8]Bi Nuri kum: Jawaban untuk ungkapan Nawwar bika


Thursday, September 3, 2009

Sebutir Kurma

Ya, sebutir kurma. Berbuka puasa hanya dengan beberapa butir kurma di negeri para nabi mengingatkanku dahulu di kampungku waktu buka puasa. Dulu ketika menjelang buka puasa aku pasti bertanya pada ibuku; “bu' sekarang bukanya pakai apa?” , “ya itu yang ada di meja”, jawab ibu singkat. Sejurus kemudian aku menggerutu karenabuka puasanya hanya itu-itu saja ketika itu, {hanya itu!!!!?} padahal yang ketika itu untuk ta'jil-annya saja sudah ada kolak pisang, bakwan, kue apem, dan ada buah mangga, terus untuk makam malamnya sering ibu masak ayam. Aku juga masih saja kurang syukur. Dan tak jarang juga piring atau gelas yang sehabis aku pakai aku letakkan dengan kerasnya hingga menimbulkan bunyi “ prakk”, sebagai bentuk protesku pada ibu. Mengingat itu semua kadang air mata ini mengalir dengan sendririnya. “Sampai segitunya” batinku sekarang.
Namun sekarang berbuka puasa hanya dengan sebutir kurma aku merasa sudah cukup dan bersyukur sekali.
Aku yang jauh dari ibu bapak, yang kalau mau makan aku harus masak sendiri. Dan apalagi ketika menjelang buka puasa dan waktu sahur tiba, aku harus repot-repot menyiapkan segala macam yang ingin aku masak. Eh, belum lagi di coolkas sama sekali tidak ada bahan yang bisa untuk di masak. Waduh, harus belanja kepasar, deh. Alloh.....terimakasih, Engkau masih karuniakan aku badan yang sehat dan sempurna lagi tanpa ada cacat apapun di anggota badanku. Dan Engkau masih memperkenankan aku untuk berbicara dengan orangtuaku meskipun dengan jarak unun jauh disana, yang penting mereka kedua orangtuaku masih tetap sehat wal 'afiyat.
Kadang hati ini di selimuti rindu yang mendalam karena ingin sekali bertemu dengan ke dua orangtua ku, sudah tiga kali puasa dan insya Alloh tigakali lebaran juga aku tidak sungkem pada bapak ibu, aku hanya bisa sungkem lewat telpon yang kadang suara di seberang sana sama sekali tidak jelas, itupun kalau dana untuk telpon ada, kalau tidak ada ya sekedar SMS-an. Ya, semoga dengan ini menambah kecintaanku pada ibu bapakku. Yang dulu ketika di rumah, sama sekali aku tidak pernah mensyukuri dan sadar bahwa aku masih punya ibu dan bapak, Astaghfirullah. Memang jarak yang jauh kadang membuat kita semakin tambah cinta, tamba sayang dan ada rasa kangen. Yang dulu sama sekali tidak ada rasa kangen. Atau ingin sekedar ngobrol atau bahkan bercanda dengan ibu bapak. Tapi perasaan itu baru muncul sekarang. Yang sekarang ketika aku dan ibu bapakku berjauhan.
Sekali lagi terimakasih, Alloh. Karena Engkau masih bisa memberika umur yang panjang kepada ibu bapakku dan terimakasihku karena Engkau masih sadarkan aku untuk selalu mengingat mereka. Aku mohon pertemukan aku nanti dengan ibu bapaku dalam naungan cinta dan kasih sayang-Mu. Begitu juga pertemukan aku dengan kakak dan adikku nanti dalam gendengan tangan mesra-Mu yang ketika kami dulu di rumah sering bertengkar hanya karena persoalan sepele. Dan baru merasakan juga aku di karuniai seorang kakak yang baik hati, yang tiap bulannya harus meluangkan waktunya untuk pergi mondar-mondir ke BANK mentransfer uang untukku, astaghfurullah.....baru sadar juga aku kalau aku iniada seorang kakak yang baik hati. Betapa dan betapanya aku ini.
Segudang nikmat-Mu Engaku limpahkan padaku, Alloh. Terimakasih Alloh. Harus dengan apa aku haru membalas semua ini pada-Mu, Alloh. Dan harus dengan apa juga aku harus membayar semua ini kepada bapak ibu dan kakakku nanti. Dan betapa tidak tahu malunya aku ini yang sudah besar masih saja mengandalankan kiriman uang untuk sekedar uang jajan? Ah, hati ini kalau mengingat itu serasa sakit, namun aku tidak mampu. [Tidak mampu!!?] Atau itu hanya kilahku saja karena aku bermalas-malasan di sini. Alloh, ampuni aku.
Alloh, istiqomahkan aku di jalan ini; menuntut ilmu di negeri orang. Sabarkan aku di kala cobaan-Mu datang kuatkan jasmani dan rohaniku agar aku bisa menjalankan tugas ini dengan sempurna. Dan Berikan aku yang terbaik untuk aku persembahkan pada mereka yang senantiasa berbuat lebih padaku, tak lain adalah Ibu Bapakku dan kakakku. Dan tak lupa seluruh keluarga di rumah yang senantiasa menudkungku di sini. Alloh, aku tahu Engkau maha pengampun atas segala dosa, kepada siapa lagi aku harus meminta ampun selain Engaku?.Tiada lain hanya Engkau, Alloh.


Tuesday, July 21, 2009

Ijinkan Jariku Menari

Lihatlah jari-jariku menari dengan indahnya
merangkai kata hasil imajinasi

merenung sejenak jaripun berhenti menari
“uh, dia hadir sebagai pengganggu saja”, batinku
aku ingin sendiri, menari-nari dengan leluasa tanpa ada yang mengagguku
duh, kenapa dia hadir lagi
menjengkelkan!!!enyahlah dirimu dariku, jangan ganggu aku.
tuh kan, screensaversnya muncul lagi!!!
jaripun menggerutu, tak bisa menari
udah, sana pergi..!!!

Asik.....sekarang dia pergi
leluasa aku menari
sendiri tak ada yang jahili
senyum tipis kelingking kananku
melihat ibu jari membuat spasi; ctok..ctok..ctok
“duh capek”. katanya
“ayo semangat”, kata kelingking kanan yang selalu aktif dengan A,Q dan Z-nya.
“ups, ternyata kita mengganggu tidur seseorang”, kata si telunjuk yang tak mau lepas dengan F dan J-nya
“sssseett!!!” jari manis kasih peringatan pada ibu jari supaya pelan saja penjet spasinya.
“udah ya, capek”. kata si ibu jari.
“huu..!!! paling besar sendiri kok tanaga kecil”. kata si jari tengah.
“ya udah kita berhenti saja, kasihan ibu jari”. kata si kelingking
“maklum ibu sudah tua, nggak kuat lama-lama”. kata ibu jari.
kita sudahi saja ya...?
“ya.!!!” kata si jari manis, girang, sambil loncat ketanda titik, ctik.





Saturday, July 18, 2009

Harapan-Harapan Besar

Duapuluh tiga tahun yang lalu, lahirlah aku ke dunia dengan pendengaran dan penglihatan yang belum semprna dan juga mulut ini masih dalam kebisuan, hanya bisa menangis dan menangis.
Jerit tangisku malam itu mengganggu tidur di malam hening. Tak ada yang tau mauku, kerena aku hanya bisa menangis dan menangis. Namun ada seorang wanita yang paling berjasa dalam kelahiranku, dia peka, bisa merasakan dan faham apa mauku, yaitu ibuku. Ibu sontak langusng faham, bahwa si jabang bayi sedang kehausan atau lapar. kemudian meneteklah aku dengan semangat, kemudian diamlah aku dari tangis. Jasa Ibu tak tertandingi. maafkan aku, ibu, jika sudah mengganggu tidurmu.....
Dua puluhtiga tahun silam aku menjalani hidup ini dengan seadanya, mengalir apa adanya, tanpa babibu aku protes ini itu dengan berbagai pertanyaan; kenapa aku dilahirkan? kenapa aku ini di lahirkan di desa tidakdi kota?, kenapa aku tidak tampan seperti Adam Jordan? dan Bla bla bla. seabrek pertanyaan itu tidak ku lontarkan.
Hidup dengan selalu menjalani apa yang di perintahkan tanpa protes dan tanpa melawan dan lebih-lebih tidak melaksanakannya. Aku sendiri merasa bahwa hidup ini memanglah untuk mengabdikan kepada sang pencipta. Bersukur karena sudah di lahirkan ke dunia hingga aku menikmati indahnya dunia seisinya, aku bisa merasakan apa itu enak apa itu tidak enak dan sebagainya.
kehidupan yanga fana ini kadang menipu aku, aku terbuai rayu setan, rayuan gombal yang meninabobokan aku hingga tertidur dalam selimut biadab yang penuh nafsu. Na'udzubilah!!!

Kurang lebih 19 tahun kujalani hidup di desa, sisanya di pondok pesantren dan di luarnegeri. Tak henti-hentinya aku bersyukur, aku bisa menjalani sebagian masa-masa pendidikanku di luar negeri. Namun tak lupa juga aku harus berterimakasih kepada pesantren yang telah mengajariku, yang secara tidak langsung memberikan petunjuk padaku hingga aku terbang keluar negeri. Tapi sebenarnya yang paling berjasa adalah kakakku sendiri, yang kalau dia tidak menunjukkan aku untuk menuntut ilmu di pesantren, mana mungkin aku bisa ke luar begeri, namun itu semua adalah kehendak Alloh semata, dialah yang menakdirkan ku terbang hingga di negeri para Nabi ini. Rasa syukur teruslah mengalir tanpa nenti, meskipun dalam keadaan susah.
Teringat masa-masa kecil dulu hidup di desa, bermain bersama teman-teman, asik sepertinya. serasa masa kecil itu tak kan pernah habis, pikirku dulu. sempat ku berfikir ketika kecil dulu, ketika itu aku baru kelas 3 Madrasa Ibtidaiyah, setingkat sekolah dasar; kapan ya aku ini sudah tidak lagi bersekolah, aku bosan dengan sekolah aku bosan dengan buku-buku sekolah, aku bosan melihat bangku-bangku sekolah, aku bosan melihat pak guru dan buguru, aku ingin segera keluar dari dunia pendidikan sekolah ini, kemudian aku bisa hidup selayaknya orang dewasa yang bisa bebas lepas tanpa ada kungkungan dari pihak lain, tanpa ada omelan orangtua karena aku tidak belajar dan tidak mengerjakan PR dan lain sebagainya.
Argh, itu hanya fikiran-fikiran yang kotor saja, itu hanya fikiran-fikiran yang mandeg dan konyol, yang hanya berfikir sekali saja tanpa di selingi perenungan yang matang.
Setelah aku menginjak dewasa, masa-masa di jenjang sekolah menengah pertama; aku baru bisa berfikir pandangan ke depan, bagaiman aku ini nanti bisa menjadi orang yang bisa membangun daerahku, bagaimana saya harus menjadi orang yang sukses, bagaimana aku ini nanti hidup tidak hanya menjadi seorang petani sebagaimana orangtuaku, meskipun pekerjaan itu tidak hina bahkan malah suatu pekerjaan yang mulia. Namun aku ingin merubah generasiku nanti dengan generasi yang lebih mapan dan hidup nyaman, tidak sengsara sebagaimana yang orang tuaku rasakan menjadi petani. Hasil pertanian sering di tipu para tengkulak, dan sering di monopoli para penguasa kaya, dan masih banyak lagi orang yang ingin memanfaatkan kebodohan orangtuaku khususnya dan orang desa pada umumnya.
Akhir pendidikanku di tingkat menengah pertama mulai menancapkan Benih Super; aku harus bisa menjadi orang yang mandiri dan sukses, aku tidak mau menjadi seperti kedua orangtuaku aku harus hidup lebih tidak mengandalkan otot saja, tapi aku harus hidup mengandalkan otak yang ku miliki. Orang yang mengandalkan intelektualitas lebih mulia di bandingkan yang mengandalakan otot semata, orang yang mengandalakan otot semata karena tidak kemampuannya untuk memenuhi , mengisi otaknya dengan bacaan-bacaan, atau ilmu- ilmu yang ada di dalam buku dan akhirnya menjadi orang yang tidak tahu perkembangan zaman.
Mereka hanya mengandalkan kekuatan fisik tanpa menggunakan otak karena tidak pernah di isi dan di asah atau bahkan di praktekan, mereka tiap harinya berpeluh, kuras tenaga banting tulang, namun hasilanya sedikit. aku harus menjadi orang yang sukses dan bisa membangun masyarakat desaku nanti, aku harus bisa mambimbing dan mengajari mereka supaya para tengkulak dan para juragan tidak seenaknya menindas orang-ornag desa.
Namun tak lupa juga bimbingan agar tetap beristikomah di jalan agama yang di bawa Nabi Muhammad SAW, hingga mereka bisa memahami apaarti hidup di dunia yang tidak hanya sekedar bertani dan bertani, mencari harta semata hingga melupakan kehidupan akhirat, harta mamang penting, harta adalah sarana untuk menuju ibdah kepadaNya.
Harapan ini haruslah tercapai, semoga Robb semesta alam mengabulkan cita-cita ini, cita- cita mulia untuk membangun sebuah desa yang tertinggal menju desa yang maju, makmur dan menuju masyarakat yang taat kepada Robb pencipta alam.

MWrD
6 juli 2009

{pagi hari di penuhi penat} Kata, Hadirlah!!!

Dimana kata?

Buntu...

tak dapat menari jari ini di atas keyboard

bosan...

kehilangan inspirasi
rindu tak dapat teratasi
senyum simpul, basi.

diraba
dirasa
dan dibaca

menghdirkan puisi alamsegenggam angan bersulam
tiba di relung terdalam
bait syairpun hanyut dalam nestapa
tak hadir aku bersamanya
kembali pada puisi alam
lembaran lama yang kusam
torehan tinta menjelma kelam

berharap dengan puisi
menepis rindu basi
jari masih menari
sepi dan sepi
batin tak terobati
rindu Ilahi tak ku henti


[Renungan]Rambut Putihku

Angin menyingkap rambutku

terurai berantakan jadinya

seskali rambut putihku nampak mengkilat

helai demi helai aku perhatikah dari kaca

sudah lah, kalau memang sudah takdirnya pasti kan datang juga

tentang rambut putih......di kabarkan termasuk salah satu tamu yang akan menjemput kita di dunia

memang harus di waspadai dan harus siap bekal untuk menuju ke sana.

Dan tidak perlu risau keberadaannya


namaun sesekali mengeluh gaduh

di perhatikannya seakan menjemput ajal, memang.


tapi agak ragu juga sih...

sudah lah yang penting harus selalu siap apa yang akan menimpa...

entah esok berpulang

atau mungkin seratus tahun lagi....



Monday, July 6, 2009

Si Ibu Berkebaya Hitam Menambah Kesyukuranku

Suatu hari saya melihat seorang ibu-ibu  berkebaya hitam , berkerudung yang di sampirkan di
kepalanya. Berjalan cepat sambil teriak-teriak dan ngomel pada orang yang ada di sekitarnya.
Saya sendiri tidak begitu faham apa yang di ucapkannya, karena kebetualn saya berada di luarnegeri, dan saya belum begitu menguasai bahasa di negeri itu, dan memang bahasa yang di gunakan ibu-ibu itu adalah bahasa kampung di negara itu.
Dalam batin saya berbicara; “ada apa dengan ibu-ibu itu kok teriak-teriak sambil memarahi orang sekitanya ?”.
Dan yang menjadi sasaran omelannya adalah orang yang ada di sektarnya, Untungnya ketika itu saya sedang berada di dalam sebuah toko untuk membeli sesuatu, jadi kemungkinan besar seandainya saya berada di luar toko itu akan kena omelan si ibu berkebaya hitam itu.
Sontak aku berfikir; “Oo, orang gila”.
Saya berpendapat begitu karena mamang ada indikasi bahwa ibu itu memang kuraung waras, gila. yaitu ketika orang-orang di dekatnya yang kena omelan si ibu itu, ada yang senyum dan ada pula yang tertawa dan ada juga yang hanya diam terus melanjutkan perjalanannya.
                Cerita di atas sepertinya sudah biasa di negara kita, Indonesia tercinta . dan bahkan kalau kita melihat orang gila di kampung-kampung atau di desa-desa  malah menjadi bahan tawa dan tontonan kebanyakan anak kecil dan ada juga orang dewasa.
Dari sini saya akan coba mengomentari tawa dan senyum atau bahkan diamnya mereka saat melihat orang gila.
Tertawanya mereka mengindikasikan sebuah ejekan dan hinaan atau cemoohan pada orang gila tersebut. Dan bahkan mereka menjadikan sebuah hiburan karena mereka dapat tertawa dengan melihat orang gila tersebut.
Seandainya saya mampu -karena persoalan bahasa tadi- sayangnya saya belum mampu. Saya akan berkata  kepada orang yang tertawa itu, “coba seandainya ibu berkebaya hitam itu adalah salah satu dari anggota keluarga anda atau bahkan ibu anda, maka apa yang anda lakukan ketika melihat salah satu dari anggota keluarga anda sedang menjadi bahan tontonan dan di tertawakan atau di cemooh orang lain?”
Lebih-lebih kita merasa iba dan kasihan, dan bahkan bersyukur pada yang memberi hidup dengan berkata “ya Alloh terimakasih engkau telah memberian kesempurnaan pada hamba, kesempurnaan agama, jiwa dan raga. Sehingga bisa menikmati hidup ini”.
Orang yang menertawakan tadi artinya belum bisa mensyukuri karunia Alloh yang di berikan kepadanya, belum bisa merasakan derita karena mendapatkan comoohan dan ejekan orang lain, bahkan sempat-sempatnya tertawa di atas penderitaan orang lain.
                Sedangkan orang yang hanya diam –melihat orang gila- mengindikasiakan orang itu sedang berfikir dan mensykuri nikmat Alloh yang di berikan padanya, karena dalam hatainya ia berdzikir, “ Ya Alloh engkau sempurnakan jiwa dan raga hamba tanpa satu kekurangan apapun atau bahkan cacat pada diri hamba, sehinga bisa berfikir akan keberadaan-MU melalui alam semesta dan seisinya ini.
Dari kejadian itu dapat di ambil kesimpulan. Pertama, pentingnya belajar bahasa. Bahasa adalah alat komunikasi yang begitu penting antar sesama manusia. coba Seandainya saya bisa lancar berbahasa di negera tersebut maka insya Alloh akan saya ingatkan mereka yang tertawa saat melihat orang gila itu. Dan itu merupakan dakwah di jalan kebaikan. Kedua, bagaimana bisa merasakan derita yang di alami orang lain, dan yang ketiga, bisa bersyukur dengan melihat ibu berkebaya hitam tadi.



Seharusnya ke Masjid, Bukan keTerminal.!!!

hari itu matahari menyengat dengan sangatnya, udara gersang, sesekali angin bertiup kencang mengacak-acak tumpukan debu dan berterbangan. Sumpek alias BeTe, dan di tambah lagi pas hari-hari ujian kenaikan. aduh tambah Pusing.

mondar-mandir tak tahu harus bagaimana. “Aku harus mencari tempat yang enak buat belajar” batinku.
duduk di sofa ruang tamu depan sambil balajar, perasaan tak enak samakin menancap dalam-dalam di relung hati.

Sudah menjadi kebiasaaan saya kalau sedang galau, gundah gulana dan apalah, sumpek alias BeTe saya pergi kemasjid untuk menenangkan fikiran sambil membawa buku dan qur'an kecil ke masjid. serasa sejuk di dalam masjid, memang. meskipun hawa panas. Tapi tidak tahu hari itu aku rasanya malas sekali pergi ke masjid. Aku masih mondar-mandir di dalam rumah, kadang ke kamar, kadang ke depan rumah dan kadang juga kedapur entah apa yang saya kerjakan sambil bawa buku pelajaran yang besok lusa aku harus ujian. Pusing, kepala terasa panas, melangkah gontai akhirnya aku putuskan untuk pergi ke terminal, yang kebetulan rumahku tak jauh dari terminal dan aku dengan santainya naik bus yang aku tidak tahu mau kemana bus itu. Batinku dalam hati; entahlah sampai mana aku ini nanti, yang penting aku bisa menenangkan fikiranku.
Tak lupa aku membawa buku pelajaran buat aku baca, berharap ada sedikit pencerahan nantinya, tapi nyatanya malah aku sendiri di dalam bus  melamun bukannya konsentrasi baca buku. kadang sesekali aku memperhatikan para penumpang bus yang baru saja naik ataupun yang sedang turun dari bus. Ah, di dalam bus bukannya tenang  malah tambah kacau fiiranku.
Bus masih  tetap melaju kencang, aku putuskan unuk turun nanti kalau bus itu sudah berhenti di terminal terakhir hingga membawa penumpang lagi.
sampai di terminal akhir kebingungan aku jadinya, tidak tahu daerah mana dan aku sempat membeli makanan di situ, aku pun pulang dengan bus yang  tadi aku berangkat dengan bus itu.
di tengah perjalanan  pulang, aku bertemu dengan segerombolan pemuda, aku rasa mereka anak-anak jalanan.
salah satu dari anak-anak jalanan itu menyapaku sok kenal; "Hai, dari mana mau kemana?" tanyanya songong."Lagi pengen jalan-jalan aja naik bus pulang pergi tanpa ada tujuan". jawabku enteng.
sempat aku berjabat tangan dan berkenalan dengan anak yang menyapaku itu. "kasar dan songong sekali jabat tangannya", batinku dalam hati.
sebenarnya aku pengen ngobrol banyak dengannya tapi aku urungkan niatku itu karena aku melihat dia bukan anak baik-baik, dilihat dari cara bersalaman dan tingkah lakunya di dalam bus yang tidak mengenakkan para penumpang. Melihatpun aku sudah malas sebenarnya.
aku duduk di kursi sendirian dan diam. Kernet bus keliling menyambangi para penumpang, menarik uang karcis bus, dan aku pun di kasih kertas karcisnya sama kernet bus.
tiba-tiba salah satu anak jalanan  tadi memberikan kertas-kertas karcis milik mereka yang sudah tidak belaku lagi pada saya  sambil bilang; ni, buat kamu kertas karcisnya biar kamu bisa jalan-jalan sepuasnya naik-turun bus.
sontak aku jengkel namun aku tidak mengekspresikan kejengkelan dan kekesalanku itu, aku hanya mangkel, marah dalam hati saja.
 sejenak kemudian saya merenung; coba seandainya saya tadi pergi kemasjid saja. di masjid yang hawanya sejuk dan menentramkan hati dan fikiran, kan saya nggak bakalan di kerjain sama anak-anak janalanan itu.
Rasa kesal itu hilang setelah gerombolan anak-anak itu turun dari bus.
aku kembali merenungi diriku yang sedang tidak tau kenapa saya ini kok jadi begini. tidak biasasanya.

memang tiada tempat yang lebih sejuk dan nyaman kecuali di masjid. masjid selain tempat untuk beribadah, juga tempat untuk merenungi sesuatu dikala fikiran tidak tenang, dikala fikiran sedang kacau. Tempat biasa aku melepaskan gundah-gulana dan penat adalah masjid bukan di terminal. tempat  beribadah kepada Robb semesta alam.
Hati akan tenang dan tentram, fikiran yang tadinya dirasa sempitpun akan merasa longgar dan plong.
Wallahu'alam

Wednesday, March 25, 2009

Sadarku

Nyiur melambai-lambai indah di pematang sawah

nina-bobok ibu pertiwi selagi angin sepoi-sepoi
tiba-tiba badai menerjang
sontak terbangun aku.


Siapa hidangkan keraguan....?
laut berbuih putih, terombang-ambing.

Gunung mengeluarkan abunya
sawah, ladang menjadi subur

para petani berkata
“ibu pertiwi, terimakasih”


Sesampainya penghujung keraguan ini
aku akan selalu bersamamu ibu pertiwi
salam dari anak yang tak tahu diri
sesalkan impian-impian masalalu
lari terbirit di kejar waktu

Ibu pertiwiku.......

ku kan selalu menjagamu
aku rela berkorban demi ibu pertiwiku
berharap hari esok tetap berada di pangkuanmu

Lalu-lalang kenangan mengitari diri
lambaian nyiur terus memangguil ku untuk hadir di hadapanmu ibu pertiwiku

Panggung politik berjubelkan hipokrit-hipokrit tak berduit
menghanguskan idiologi bangsa
“ibu pertiwi katanya sedang lara?”


Monday, March 16, 2009

Keseriusan Berbuah Kepuasan

Siang yang panas. Raja siang menampakkan keperkasaannya, panas Bara api membakar. Semakin bergejolaklah ambisi para penuntut ilmu. Angin kencang menghembus di sela-sela serambi masjid, berbisik lembaran-lembaran mushaf para hamba-Nya. Duduk di beranda masjid seorang mahasiswa Al-azhar sambil memandangi menara masjid yangmenjulang tinggi.

Dengan kaos oblong dan tas hitamnya ia letakkan di sampingnya.
tatapan matanya yang tajam ke arah menara , nampak dia merenungkan sesuatau atau dia sedang memikirkan sesuatu, gelisah dan sesekali dia menghimpit lututnya dengan kedua tangannya.
Rasa penasaranku tak bisa ku bendung untuk mendekatinya.

“maaf, dek... Jam berapa sekarang ya?” tanyaku basa basi.

Dia hanya memperlihatkan seiko yang ada di tangannya, ku lihat kira-kira jam sebelas siang menjelang Sholat Dzuhur.
Ku ambil mushaf di saku, lalu ku buka kemudian ku baca di sampingnya, siri.
Dia masih duduk dengan paha yang di apit kedua tangnnya.
Matanya benar-benar membendung sesuatu, seakan bendungan itu jebol sebentar lagi.
Pikirannya kalut, kurasa begitu.
Aku masih melantunkan bacaanku dengan suara siri. Ku dengar isak tangisnya,
“oh, dia menangis” pikirku.

Seperempat jam sudah dia berada dalam linangan airmata. Semakin tidak tega aku melihatnya .

“Kok nangis, dek. Ada apa?”

tanyaku padanya yang masih duduk seperti biasa.
Dia tetap menangis dan tak menjawab pertanyaanku. “Boleh aku tahu nama adek?” . “Irfan”. Jawabnya singakat.
“Irfan, mungkin aku bisa bantu kamu, tapi sebenarnya ada apa denagan kamu kok nangis. Pasti ada masalah atau musibah yang menimpa dirimu?” tanyaku padanya.

ALLAHUAKBAR....ALLAHUAKBAR......

Saura Muadzin menggema, memantul dinding-dinding berukirkan simbol-simbol Yahudi-Israel itu. mengitari gang-gang masjid, menysup selala-sela jendela masjid berukirakan bintang David. Adzan dzuhur berkumandang waktu sholat tiba. Irfan belum menjawab pertanyaanku.
Dia masih menangis
“dek, sudah adzan lo, lebih baik kamu ambil air wudhlu kemudian kita sholat di dalam, setelah itu kamu ceritakan ada apa sebenarnya dengan kamu”.

Kataku sambil bangkit dari sampingnya.
Dia pun bangkit sambil mengusap air matanya

“oke, kita ke tempat wudhlu” kataku.


Maha Besar Alloh yang telah mengadakan air sesegar ini. Dahaga di sembuhkan, kerontang terbasahi, panas yang menjalar ke seluruh tubuh terealisir sudah.
Suara Iqomah menggema, terdengar dari tempat wudhlu, pertanda kewajiban menjalankan sholat akan segera di tunaikan.

….........”Kenalkan nama saya zaki Ulil Azmi dari kediri. Biasa teman-temanku panggil aku dengan sebutan, jeki” . kataku pada irfan. Sambil berjabat tangan dengannya.

“fan, kok kelihatannya sedang ada masalah , boleh aku tahu masalamu?”

“ya boleh, aku hanya sedih aja saat melihat hasil ujianku, aku gagal untk tahun ini.” katanya.

“oo... itu to masalahnya, “kamu tingkat pertamaya?”

“iya” jawab Irfan.

“Aku sedih kalau ingat usahaku mati matian dalam belajar” ,kata irfan.

Irfan mulia cerita; Berangkat kuliah dari rumah pagi-pagi, pulang sore sekitar habis ashar, sehabis itu aku tidak langusung pulang kerumah , tapi aku tinggal di masjid dulu untuk menghafal Qur'an sambil menunggu waktu maghrib tiba, dan setelah maghrib aku mengikuti bimbingan belajar di kekeluargaan. Dan aku sadar memang Bahasa Arabku lemah, aku sulit untuk memahami buku-buku diktat kuliahku. Padahal aku sudah berjanji pada orangtuaku, bahwa aku setelah di mesir nanti akan berusaha mendapatkan nilai yang bagus supaya mudah untuk mendapatkan minhah, beasiswa.
Bapakku hanyalah seorang petani yang penghasilannya pas-pasan untuk kehidupan keluargaku sehari hari. Ibuku berjualan di pasar . Untuk tambahan supaya dapur tetap mengepul. Satu tahun ini memang aku di kirim uang dari rumah, itu pun tabungan bapakku untuk biaya hidupku selama satu tahun saja. Yang itu memang sudah di persiapakan sebelum keberangkatanku.
Tapi untuk tahun berikutnya aku harus sudah tidak mengandalkan kiriman dari rumah lagi.

Mendengarkan cerita irfan aku hanya mengangguk-anggukkan kepala saja, sebab hal semacam itu kelihatannya sudah biasa terjadi.

“kalau begitu kenapa kamu tetap nekat berangkat ke mesir sedang orang tuamu tidak mampu membiayai kehidupanmu selama di mesir.?” Tanyaku padanya.

“Itulah salahku, aku tidak ada ganbaran tentang mesir , yang aku tahu mesir hanya sebuah negara yang banyak muslimnya yang dan taat beribadah.” timpalnya.

“ Dan aku pernah dapat cerita dari pak Bondan, alumni Al-azhar juga. Katanya; kalau soal biaya kuliah sendiri gratis dan kita hanya memerlukan biaya untuk hidup di sana saja tapi jangan khawatir dengan biaya hidup di sana, banyak lembaga-lembaga penyalur bantuan bagi siapa saja yang najah. apa lagi kalau dalam ujiannya itu dapa predikat jayyid, atau jayyid jiddan, sangat mudah untuk mengajukan beasiswa, apalagi dengan predikat mumtaz.”
. cerita irfan apa yang pernah di ceritakan pak Bondan.

“Cerita pak bondan itu membuatku lebih optimis untuk kuluah di mesir”. Imbuhnnya

“oo... jadi begitu, fan. Kamu lulusan pondok kan?”
“ya aku lulusan pondok yang sudah mu'addalah [sudah di setarakan]” kata irfan.

“Asal tahu saja ya, fan. Memang kamu lulusan pondok yang sudah mu'addalah, dan itu salah satu syarat yang harus di penuhi, memang. Dan yang penting lagi adalah; kamu sendiri sudah mu'addalah dengan bahasa arab belum?. Dan menurutku itulah yang paling penting. Sedangkan kamu sendiri lemah dalam Bahasa Arab.” kataku pada irfan. Irfan hanya diam seribu bahasa.

…...”O iya, fan. Ngomng-ngomong kamu berapa pelajaran yang kamu tinggal?”. Tanyaku pada irfan. “enam pelajaran semuanya termin dua”. Jawabnya.

“O..jadi nanti kamu termin satu nganggur dong?”

“Iya” jawabnya pelan.

“Kalau begitu gunakan waktu senggangmu itu untuk memeperdalam Bahasa Arabmu.
Kalau kamu mau, tiap habis ashar datang saja kerumahku , nanti kita belajar bahasa arab" .
Saranku.

“Jadi nanti Mas Zakai sendiri yang akan membimbingku?, nanti apa tidak merepotkan, Mas Zaki?"
Tanyanya.

“Nggak..... aku nggak membimbing kamu tapi kita belajar berasama-sama , saling memberi masukan, gitu.” Jawabku.
“Ah, mas zaki ini merendah”. Timpalnya.

Ya insya Alloh aku akan datang ke rumah mas zaki sehabis ashar.

“Ngomong-ngomong, mas Zaki sudah tingkat berapa?”

“Alhamdulillah aku sudah selesai S1 dan sekarang aku sedang dalam proses menulis tesis”. Jawabku.

“Wah hebat dong! Mas Zaki, bisa melanjutkan S2 di sini” sanjung irfan padaku.

“Semua itu proses, fan. Aku dulu juga pernah gagal di tahun pertama dan merasakan seperti kamu juga . Dan aku tidak pantang menyerah terus belajar dan belajar , dan tetap mendalami bahasa arabku yang amburadul.
Mungkin di bandingkan dengan kamu, masih lumayan kamu kok”


Angin mengembus sepoi-sepoi, menyibakkan rambut Irfan yang belah tengah itu. Sesekali dia merapikan rambutnya dengan tangannya.

“Sudah, fan. Jangan terlalu di fikirkan, Insya Alloh apa yang menimpa pada diri kamu saat ini ada manfaatnya di kemudian hari", kataku pada irfan.

“Amien” timpal irfan lirih.

“O iya, mas. Boleh aku minta nomer HP mas zaki?” tanya irfan.
“Boleh saja , fan”.
Di keluarkannya Nokia dari saku celananya.

“Sebutin nomrny, mas!.”
“0166797390” jawabku.
“syukron ya, mas”.
“sama-sama, fan”
“aku pergi dulu ya?, ada acara di kekeluargaan , kapan-kapan datang aja ke rumah ku ba'da Ashar. Tapi sebelumnya telpon dulu ya.."
“ya, mas. insya Alloh”

“sudah ya sampai bertemu lagi”

“Asslamu'alaikum....”
“Alaik salam, mas zaki...”

Selang Berapa minggu kemudian Irfan menelponku
dia berminat untuk belajar Bahasa Arab di rumah.

Panas matahari membakar dedaunan , udara panas berseling angin kencang, berdebu.
Irfan dengan semangatnya datang kerumahku .
Liburan kali ini dia gunakan untuk mendalami Bahasa Arabnya , ia sadar akan kelemahan dan kekurangnnya . Dan ia harus tetap beristikomah di jalalnnya itu.
Hari berganti minggu minggupun berganti bulan, bulan menjadi tahun, kini genap sudah setahun dia belajar bersamaku.
Iapun mahir dan lancar berbahasa Arab dan mampu memahami buku-buku diktat kuliahnya.
selagi mau berusaha dan bersabar Insya Alloh akan di berikan jalan kemudahan dalam menempuh kesulitan.
irfan pun demikuan dia di beri kemudahan dalam menempuh studinya untuk tahun ini , nasib baikpun menjemputnya dia mendapatkan predikat yang ia cita-citakan.




Monday, March 9, 2009

GENOSIDA di TANAH Al-QUDS

Lambaian pohon zaitun itu
menggugurkan buahnya
tumbang berserakan pohon kurma
pasir berbisik, tentara dengan granatnya
ganasnya genosida zionis Israel
tank-tank menderu menyerbu, meburu, kelabu Palestina
Anak-anak tak berdosa, ibu-ibu hamil, mamalia yang sedang menyusui dan kakek tua dengan tongkatnya. BOOM....BOOM.... BOOM.... Syahid mereka.
Memori-memori yang tak kan terlupakan oleh mereka
kebencian yang mendalam menyelimuti malam-malam mereka.

Bungkam negeri seribu menara,
tutup mata negeri para anbiyak,

oh, konspirasi...?
Amerika yang seolah-olah tak tahu-menahu menjadi penengahnya, Bajingan!!
Yahudi Israel gembor-gemborkan kejadian Holocaust, mitos belaka.
Debatable.............




Saturday, February 28, 2009

KANDAS di UJUNG KERAGUAN PENGUNGKAPAN

Angin berhembus segar, dedaunan berbisik olehnya. Bunga sepatu bermekaran, indah.
Riuh serentak bunyi sepatu langkah menuju kantin. Lalulalang siswa siswi seseklai bertanya tentang pelajaran pagi tadi karena mungkin terlambat masuk.
Hayo...!! lagi ngapain ketahuan sekarang, pantesan hari-hari ini seriang melamun,btw siapa sih yang sedang kamu lamunin....? Rini membuatku kaget saat aku duduk di depan kelas sendirian
“sudah.......nanti aku sampein perasaanmu ke dia aku tau kok tipe orang seperti kamu, malu kan mau ngungkapin isi hati, cie... cie.. isi hati bo....ledek Rini padaku
“enak aja, ngga' lagi.....”bantahku sambil merapikan rambut yang
tersibak angin.

Memang sih aku ada rasa sama dia, rasa yang tulus, sayang dan apalagi kalau sudah melihat perangainya yang lembut wajahnya yang selalu berseri dan akhlaknya yang mulia, tidak pernah marah dan apalagi bikin marah orang lain rasanya aku ingin sekali mendekatinya dan mengatakan “maukah kau menjadi permaisuriku?”

buat apa perasaan itu kamu pendam baiknya kan ungkapkan saja dari pada kamu nggak bisa tidur dan selalu terbayang-bayang sama bidadarimu itu.he he he....., Rini berusaha menasehatiku sambil meringis.

Teng....teng...teng.... “yan! Udah bel masuk, tiu bu Lifah sudah keluar dari kantor”, kata Rini.
Bahasa indonesia ya? Tanyaku pada Rini yang sedang menuju pintu kelas.

Suasana gerah dan panas namun penuh tawa canda teman-teman, hanya aku yang kelihatan kurang sumringah.
Khem..kehm.. hayo....ngliatin siapa ni....? Bakri yang kebetulan teman sebanguku dengan aku tahu kalau aku sedang curi-curi pandag sama si Hasna yang kebetulan dia duduk di samping kiriku yang berbatasan dengan bangku yang di duduki Ima dan Ana. Udah!.... baiknya kamu temuin aja dia kalo kamu ada rasa sama si dia,ada rasa nih rasa apa ya.....hik hik hik. Bakri pun kelihatanya meledek aku.

“Ngaco kamu hari gini mau main cinta-cintaan, satu bulan lagi ujian, Kri.” Bantahku

“ya sudah kalau begiru habis ujian, gimana?”
Desak Bakri supaya aku mengungkapkan apa yang mengganjal di hatiku selama ini.

…...Malam begitu cerah berselimutkan cahaya bulan nampak di jendela kamarku
dan di hiasi bintang bintang kecil yang bertaburan di langit, kupandangi bitang-bintang itu hanya satu bintang yang begitu membuatku terkagum, seakan berkedip padaku dan mengajakku tuk berimajinasai.
Ya Alloh...pengusasa hati para pecinta sang kekasih, taburkanlah beni-benih cinta di hatinya agar dia memahami maksud hatiku, aku sudah tak sanggup menahan semua ini. Maka dari itu berikan padaku pelajaran tentang sabar dalam cinta, sabar dalam menunggu benih-benih cintannya tumbuh hanya untukku

Dorr..!!!hayoo lagi mikirin apa nih? Adikku membuatku terbangun dalalm lamunanku saat aku sedang rebahan di tempat tidurku.
“Lain kali permisi duli kek, paling tidak salam gitu kalau masuk ke kamar orang lain”, benatakku pada Wati, adikku.
“Ya ya maafin Wati kak!! lagian pintunuya nggak di tutup”, Wasi masih tetap membela dirinya.
“ya kakak maafin”

kakak nggak belajarm bentar lagi kan mau ujian? Wati berlaga menasehati ku
“ni kakak sedang belajar”, jawabku.
“Belajar kok melamun” cibir Wati
apa ada masalah, kak? Atau lagi mikirin.......?
ekhm,..si dia....? tanya wati, sambil senyum kecut.

“Si dia siapa? “Jawabku pura pura tidak tahu .

“Nggak usah pura pura lah, kak. Wati udah tahu kok siapa yang ada di fikiran kakak sekarangh, he..he..he..he”

“tadi mbak rini kan telphon Wati, dia cerita tentang kejadian di sekolah tadi, hik.. hik.. hik..”

“nyengir lagi! Memang ada yang lucu?” Tanggapanku pada cerita wati yang duduk di tempat tidur ku
“nggak ada yang lucu sih...... cuman aseh aja”
“ternyata kakak bisa juga jatuh......he he he”

“jatuh apa?” sahutku.

“Enak aja kakak juga manusia yang punya rasa, rasa cinta dan suka pada lawan jenis, normal kan,? tapi tuk saat ini kakak belum bisa ngungkapinnya pada dia, kakak nggak tahu kenapa mulut ini sulit sekali untuk mengatakan CINTA” cutharku pada wati yang mungkin dia lebih tau apa arti sebuah cinta karena aku tahu dia sudah cukup dewasa .
Aku cukup dekat dengan adekku ini, dia sekarang duduk di kelas Satu Madrasah Aliyah.

“Kenapa sulit, Kan hanya ngucapin lima huruf dan tinggal di tambah aku dn kamu?”. Celetuk wati.

“Iya sih hanya 5 huruf tapi ini berat dan beban di kemudian hari ,bisa mengganggu belajar dan kadang ibdahpun bisa tidak khusyuk.
Dan masih seabrek persoalan lagi yuang akan tekena imbasnya dan harus di ingat, wat. Kakak nggak mau cinta pada perempuan hanya karena berlatar belakang kelamin dan mengandalankan nafsu bejat yang tak ada ujungnya kalau di turuti “.
“Ya sudah , sekarang tinggal bagaimana baiknya kakak menyikapinya saja. Setahu wati laki-laki itu harus jentel dan tegas untuk urusan yang satu ini. Biasanya cewek tu suka sama cowok yang tegas dan pemberani”
“Wat, tapi kan....sekitar satu bulan lagi kakak ujian akhir tahun, dan kakak nggak mau ganggu dia ,bisa- bisa nanti dia nggak lulus”. Kataku yang masih terlentang di tempat tidur.
“Ya duah, kalu gutu ungkaou aja sehabis ujian,
ya tahan dulu sebentar gitu aja kok repot.sahut Wati”

“sudah malam ini, kak . Wati mau bobok dulu kata wati sambil keluar kamar.”

Malam semakinlarut bulan yang masih menyisihkan cahayanya dan bintang masih setia menemaninya. Dan aku akhirnya memutuskan untuk melupakannya sejenak barang sebulan untuk konsentrasi pada pelajaran-pelajaran ku.
Singkat cerita, ujian pun di ambang pintu , perang melawan soal-soal pun semakin gendar dan aku terlelap dalam rumus pitagoras, geometri, dan masih seabrek rumus-rumus eksak yang lain.

ujain pun usai sudah soal demi soal ku babat habis, hatipuh ada rasa tidak enak kalau-kalu nanti tidak
gagal ujian.

Satu minggu kemudian aku menerima pengumuman tentang kelulusanku
aku terima amoplop berisi pengumuman dari wali kelasku, ku buka perlahan amplop itu, jantung bak drumb yang di tabuh, hati tersanyat saat detik-detik pembukaan amplop itu.
“BERHAIL” aku lihat tulisan tebal itu bertengger di kertas pengumuman itu.
Gembira bukan kepalang, aku lulus dalam ujian itu. Sujudpun terasa tak cukup untuk mensyukuri atas keberhasilan ini. Gemuruh temant-teman riang gembira tawa-janda bahagia plus haru menderu di ruangan perkumpulan.

“Gimana, kak ujiannya, sukseskan?” Tanya wati yang sedang duduk di teras

“al hamdulillah kakak lulus” jawabku bahagia. Tak bisa aku mengungkapkan kebahagiaanku in pada adikku.

“Ibu dimana, wat.?”
“Tu di dapur sedang masak.”

“Ibu....ibu...bu rian lulus, bu Rian lulus ujian. Ni kertas pengumumannya, bu.”
“Oh ya, pintar anak ibu” puji ibu padaku
“iya dong RiAn.....” jawabku bangga.

Tapi ingat pesan almarhum bapakmu, jangan telalu bangga atas keberhasilan dan jangan telalu sedih atas kegagalanmu, semua itu adalah ujian. Keberhasilankmu sekarang merupakan amanat supaya kamu tetap semangat dalam mencri ilmu. Dan seandainya kamu gagal itu merupakan ujian buat kamu. Apakah kamu kuat mengahadapi ketidak lulusanmu. banyak anak yang frustasi dan stres hingga akhirnya anak itu mengkonsumsi obat-obat terlarang dan minum-minuman keras karena gagal dalam ujian, itu artinya anak itu sudah gagal dua kali. Gagal menghadapi cobaan dan gagal Ujian di sekolahnya. Dan kamu, rian, harus bisa menilai, Bahwa anak yang lulus dalam ujiannya belum tentu dia anak yang pandai dan cerdas, kadang anak yang cerdas dan pandai malahan tidak lulus dalam ujian di sekolah, karena kepandaian seorang murid itu tidak bisa hanya di ukur dengan kelulusnya dalam ujian sekolah.
“Iya bu, Rian akan selalu ingat nasehat itu”. Jawabku.
“Sudah, mandi dulu sana, nanti baru makan”


….....“Rian, bagaimana rencana mu kuluah di jogja?” Tanya ibu saat makan malam.
“di jogja?” sahut wati pembicaraan ibu.
“Wati, ibu ngga tanya kamu, tapi ibu tanya kakakmu, Rian”
ya bu' maafin Wati.
“Memangnya kenapa kalau kakak ambil kuluah di jogja?” Tanyaku pada Wati.
“heran aja, memangnya di jakarta sendiri nggak ada kampus apa?” Jawab Wati.
​”cari-cari pengalaman kan boleh jadi apa salahnya seandainya kakakmu kulah di kota gudeg itu, kan sesekali Rian bisa bawain ibu Gudeg Jogja buat ibu”. Canda ibu sambil mengelap tangannya dengan tisu karena sudah selesai makan.

“Ah, ibu itu bisa aja” jawabku.
“Tuh kan, wat. ibu aja nggak keberatan kok kalau aku kuliah di Jogja, jadi kenapa kamu yangkeberatan”
bantahku pada Wati

“Sudah.. sudah..kaliah malah bertengkar!” Kata ibu sambil menuju teras .
kak, mbak Hasna mau kuliah di mana ya? Celtuk Wati sabil membereskan sisa-sisa makanan.
“Mana kakak tahu, ketemu aja sudak nggak pernah kok.” kataku
“memangnya kakak sendiri belum ketemu? Gimana sih! Apa kakak malu ketemu sama mbak , ah kakak ini cemen nggak jentel, gitu”
“bukan kakak nggak berani atau malu, Wat. Tapi kakak belum ada kesempatan yang bagus waktu itu buat ketemu sama mbak Hasna, lagian kan waktu itu lagi hari ujian.”
payah kakak ini! Kata Wati sambil membawa piring ke dapur untuk di cuci.
“itu terserah kakak dong!? Sudah, kalau mau nyuci piring cuci piring aja nggak usah ikut campur urusan ornag lain”.

Singkat cerita,
Hasna yang selama ini ada dalam impianku ternyata jatuh ke tangan orang lain,
bak buah yang ranum yang siap aku petik kini dia menjadi milik orang lain.
Sakit rasanya hati ini namun aku hanya bisa berpasrah atas ketidakmampuan pengungkapanku padanya, sebenarnya cinta tidak akan sirna karena hanya sebatas tidak kemampuan pengungkapan, cinta akan tetap membekas di dalam hati. Cinta itu bisu. namun dia membara di dalam hati.

Thursday, February 5, 2009

Bingung

hembusan sukma suci
kesepian melanda jiwa
kemana kau pergi kan ku dapati

dimana penyamun?

tuhan maha tahu atas segala perbuatan
dimana lagi ku dapati diri yang

melengkung terjun bebas
kemana langkah pijakan kaki
hati terus bergemuruh menderu
atas permintaan siapa kamu menemuiku
kau hanyalah babu tak berguna
kau menghayal tak ada guna
menghela nafaspun tak cukup
ampunanNYA kau kan dapati di mana?
dia lah pengampun segala dosa dosa
hendaknya kau lebih tahu itu

siapa dia menjelma?

kemana laki laki berjubah itu
langkah tegar
langkah getar
hati mengaru
tenggelam dalam bius cinta
tak layak berkhayal kau agar aku menemanimu
disaat kesepian yang kau rasakan
selalu menjadi beban didirimu

siapa dia menghadang takdir ....?



Romantisme Sebuah Perjalanan.

Hari itu, saat dimana dia selalu duduk sendirian dibawah sebuah pohon rindang di dekat perempatan jalan raya itu.sorot mata yang terlempar dalam raut wajahnya membuatku tau akan apa yang sedang ia nanti di ujung jalan itu.hujan deras dengan petir menyambar membasahi baju yang setiap hari ia kenakan.
aku melihat sebuah jam yang setiap hari ia genggam dengan

tatapan kosong itu.tubuh yang lunglai itu tak pernah sedikitpun mengayun mulut walau hanya sebatas ucapan penyesalan atau pun permintaan tolong. yang ada hanyalah sebuah reaksi datar yang sering sekali membuat tanya para pegendara ketika melihatnya
Aku sering sekali bertanya pada diriku sendiri apa yang ia kerjakan setiap harinya disitu? kenapa jam yang ada ditangan kanannya selalu tergenggam erat sekali sampai tanampak dia tak mau sedikitpun jam tangan itu terlepas dari genggamannya. apa yang terjadi sebetulnya dengan orang itu, karena tatapannya tak pernah bisa membuatku tau sebetulnya apa yang ia tunggu.
Malam itu saat dimana aku ingin sekali melihatnya, yang mana sudah tiga hari ini aku tak menemukan tubuhnya berada duduk disana.
Aku bertanya
apa yang sedang terjadi dengan nya
aku mencoba berlari dari rumahku kesana dan aku dapati disana sebuah batu yang terukir dengan sebuah tinta yang sangat tak beraturan
aku mencoba melihat dengan jelas batu itu
aku mencoba membacanya walaupun sangat rumit untuk bisa aku baca. di situ aku menemukan sebuah jawaban.
apa yang terjadi?
aku tak tahu entah kenapa
ketika saat itu juga seluruh tubuhku bergetar
aku menggigil kedinginan, nafasku tersengaaaal, aku tak bisa berbuat apa apa
aku terduduk lusuh bersimpuh dengan hati yang sangat sakit
aku tak tahu aku harus berbuat apa dengan kejadian ini.
Aku mencoba pegi berlari ke suatu tempat dimana aku bisa menenangkan diriku walau hanya sejenak.
Taklama kakiku mengayun dengan hati yang tak menentu aku menemukan sebuah tempat dimana disitulah tempat dimana petujuk itu mengatakan
aku tak tahu dimana sebetulnya tempat itu.
Karna aku tak melihat sedikitpun cahaya bintang dalam menerangi dunia. Tapi hanyalah sebuah jalan buntu yang memberiku jalan antara ke kanan dan kekiri
disana aku menemukan sebuah jam tangan yang tidak asing bagiku, aku mencoba mengingat,apa yang sebenarnya terjadi.ada hubungan apa aku dengan jam tangan ini, kenapa aku sepertinya dekat sekali dengan jam tangan ini. Aku tidak tahu sekaranng ada dimana dan karena apa.
akarena aku seperti lupa akan semua yang barusaja terjadi.
Dan ketika aku melihat ke atas aku melihat dia tersenyam kepadaku. Yah orang yang aku cari tadi tersenyaum tipis kepadaku, dia melambaikan tangan kepadaku
aku tak tau aku merasa bahagia dengan kejadian ini, karena aku seperti menemukan sebuah kebahagiaan yang sangat memenuhi raut matanya. Mata yang tak pernah aku temui
mata yang telah lama sayu tak terhinggapi cahaya yang cerah.
Semakin lama diapun semakin menghilanng dari pandngan ku. Dia semakin pergi jauh meninggalkanku
aku mencoba mengulurkan tanganku padanya
tapi terasa jauh sekali,

tiyaaaaaaaaaaaaaaa!
haiiiiiiiiiiiiii
knpa kamu sampai sniiiiiiiiiiiiiiiii
apa yang kamu lakukan ditempat ini yaaaa'!?

tiba tiba suara keras memukul tlingaku dari belakang
oh kamu ar!jawabku.

ya', apa yang terjadi dengan tangan mu? tangan mu berdaraah ya.

Sunday, February 1, 2009

kelana Sang Merpati

Apa yang bisa dilakukan
ketika bayang itu selalu muncul
dalam tiap pijakan langkah

Apa yang bisa dilakukan
ketika rasa rindu mencabik hati
dan mengiris sebagian raga


Sungguh!
semua seperti
himpitan jeruji kosong
sesak nan perih

Ketika dua merpati hinggap
terukir dalam tanjakan pematang
sebuah kisah, dimana
cinta tumbuh dalam dua samudra perbedaan

Terbanglah sang burung satu
mengepak sayap keatas
mencari mangsa
menebah angkasa Tuhan

Terbanglah sang burung dua
meniti langkah, merayap
dalam kepakan ekor,
dibawah lautan satu, janji Tuhan

Penantian
hanya menjadi saksi semu!

Sign by Dealighted - Coupons and Deals