Tuesday, July 21, 2009

Ijinkan Jariku Menari

Lihatlah jari-jariku menari dengan indahnya
merangkai kata hasil imajinasi

merenung sejenak jaripun berhenti menari
“uh, dia hadir sebagai pengganggu saja”, batinku
aku ingin sendiri, menari-nari dengan leluasa tanpa ada yang mengagguku
duh, kenapa dia hadir lagi
menjengkelkan!!!enyahlah dirimu dariku, jangan ganggu aku.
tuh kan, screensaversnya muncul lagi!!!
jaripun menggerutu, tak bisa menari
udah, sana pergi..!!!

Asik.....sekarang dia pergi
leluasa aku menari
sendiri tak ada yang jahili
senyum tipis kelingking kananku
melihat ibu jari membuat spasi; ctok..ctok..ctok
“duh capek”. katanya
“ayo semangat”, kata kelingking kanan yang selalu aktif dengan A,Q dan Z-nya.
“ups, ternyata kita mengganggu tidur seseorang”, kata si telunjuk yang tak mau lepas dengan F dan J-nya
“sssseett!!!” jari manis kasih peringatan pada ibu jari supaya pelan saja penjet spasinya.
“udah ya, capek”. kata si ibu jari.
“huu..!!! paling besar sendiri kok tanaga kecil”. kata si jari tengah.
“ya udah kita berhenti saja, kasihan ibu jari”. kata si kelingking
“maklum ibu sudah tua, nggak kuat lama-lama”. kata ibu jari.
kita sudahi saja ya...?
“ya.!!!” kata si jari manis, girang, sambil loncat ketanda titik, ctik.





Saturday, July 18, 2009

Harapan-Harapan Besar

Duapuluh tiga tahun yang lalu, lahirlah aku ke dunia dengan pendengaran dan penglihatan yang belum semprna dan juga mulut ini masih dalam kebisuan, hanya bisa menangis dan menangis.
Jerit tangisku malam itu mengganggu tidur di malam hening. Tak ada yang tau mauku, kerena aku hanya bisa menangis dan menangis. Namun ada seorang wanita yang paling berjasa dalam kelahiranku, dia peka, bisa merasakan dan faham apa mauku, yaitu ibuku. Ibu sontak langusng faham, bahwa si jabang bayi sedang kehausan atau lapar. kemudian meneteklah aku dengan semangat, kemudian diamlah aku dari tangis. Jasa Ibu tak tertandingi. maafkan aku, ibu, jika sudah mengganggu tidurmu.....
Dua puluhtiga tahun silam aku menjalani hidup ini dengan seadanya, mengalir apa adanya, tanpa babibu aku protes ini itu dengan berbagai pertanyaan; kenapa aku dilahirkan? kenapa aku ini di lahirkan di desa tidakdi kota?, kenapa aku tidak tampan seperti Adam Jordan? dan Bla bla bla. seabrek pertanyaan itu tidak ku lontarkan.
Hidup dengan selalu menjalani apa yang di perintahkan tanpa protes dan tanpa melawan dan lebih-lebih tidak melaksanakannya. Aku sendiri merasa bahwa hidup ini memanglah untuk mengabdikan kepada sang pencipta. Bersukur karena sudah di lahirkan ke dunia hingga aku menikmati indahnya dunia seisinya, aku bisa merasakan apa itu enak apa itu tidak enak dan sebagainya.
kehidupan yanga fana ini kadang menipu aku, aku terbuai rayu setan, rayuan gombal yang meninabobokan aku hingga tertidur dalam selimut biadab yang penuh nafsu. Na'udzubilah!!!

Kurang lebih 19 tahun kujalani hidup di desa, sisanya di pondok pesantren dan di luarnegeri. Tak henti-hentinya aku bersyukur, aku bisa menjalani sebagian masa-masa pendidikanku di luar negeri. Namun tak lupa juga aku harus berterimakasih kepada pesantren yang telah mengajariku, yang secara tidak langsung memberikan petunjuk padaku hingga aku terbang keluar negeri. Tapi sebenarnya yang paling berjasa adalah kakakku sendiri, yang kalau dia tidak menunjukkan aku untuk menuntut ilmu di pesantren, mana mungkin aku bisa ke luar begeri, namun itu semua adalah kehendak Alloh semata, dialah yang menakdirkan ku terbang hingga di negeri para Nabi ini. Rasa syukur teruslah mengalir tanpa nenti, meskipun dalam keadaan susah.
Teringat masa-masa kecil dulu hidup di desa, bermain bersama teman-teman, asik sepertinya. serasa masa kecil itu tak kan pernah habis, pikirku dulu. sempat ku berfikir ketika kecil dulu, ketika itu aku baru kelas 3 Madrasa Ibtidaiyah, setingkat sekolah dasar; kapan ya aku ini sudah tidak lagi bersekolah, aku bosan dengan sekolah aku bosan dengan buku-buku sekolah, aku bosan melihat bangku-bangku sekolah, aku bosan melihat pak guru dan buguru, aku ingin segera keluar dari dunia pendidikan sekolah ini, kemudian aku bisa hidup selayaknya orang dewasa yang bisa bebas lepas tanpa ada kungkungan dari pihak lain, tanpa ada omelan orangtua karena aku tidak belajar dan tidak mengerjakan PR dan lain sebagainya.
Argh, itu hanya fikiran-fikiran yang kotor saja, itu hanya fikiran-fikiran yang mandeg dan konyol, yang hanya berfikir sekali saja tanpa di selingi perenungan yang matang.
Setelah aku menginjak dewasa, masa-masa di jenjang sekolah menengah pertama; aku baru bisa berfikir pandangan ke depan, bagaiman aku ini nanti bisa menjadi orang yang bisa membangun daerahku, bagaimana saya harus menjadi orang yang sukses, bagaimana aku ini nanti hidup tidak hanya menjadi seorang petani sebagaimana orangtuaku, meskipun pekerjaan itu tidak hina bahkan malah suatu pekerjaan yang mulia. Namun aku ingin merubah generasiku nanti dengan generasi yang lebih mapan dan hidup nyaman, tidak sengsara sebagaimana yang orang tuaku rasakan menjadi petani. Hasil pertanian sering di tipu para tengkulak, dan sering di monopoli para penguasa kaya, dan masih banyak lagi orang yang ingin memanfaatkan kebodohan orangtuaku khususnya dan orang desa pada umumnya.
Akhir pendidikanku di tingkat menengah pertama mulai menancapkan Benih Super; aku harus bisa menjadi orang yang mandiri dan sukses, aku tidak mau menjadi seperti kedua orangtuaku aku harus hidup lebih tidak mengandalkan otot saja, tapi aku harus hidup mengandalkan otak yang ku miliki. Orang yang mengandalkan intelektualitas lebih mulia di bandingkan yang mengandalakan otot semata, orang yang mengandalakan otot semata karena tidak kemampuannya untuk memenuhi , mengisi otaknya dengan bacaan-bacaan, atau ilmu- ilmu yang ada di dalam buku dan akhirnya menjadi orang yang tidak tahu perkembangan zaman.
Mereka hanya mengandalkan kekuatan fisik tanpa menggunakan otak karena tidak pernah di isi dan di asah atau bahkan di praktekan, mereka tiap harinya berpeluh, kuras tenaga banting tulang, namun hasilanya sedikit. aku harus menjadi orang yang sukses dan bisa membangun masyarakat desaku nanti, aku harus bisa mambimbing dan mengajari mereka supaya para tengkulak dan para juragan tidak seenaknya menindas orang-ornag desa.
Namun tak lupa juga bimbingan agar tetap beristikomah di jalan agama yang di bawa Nabi Muhammad SAW, hingga mereka bisa memahami apaarti hidup di dunia yang tidak hanya sekedar bertani dan bertani, mencari harta semata hingga melupakan kehidupan akhirat, harta mamang penting, harta adalah sarana untuk menuju ibdah kepadaNya.
Harapan ini haruslah tercapai, semoga Robb semesta alam mengabulkan cita-cita ini, cita- cita mulia untuk membangun sebuah desa yang tertinggal menju desa yang maju, makmur dan menuju masyarakat yang taat kepada Robb pencipta alam.

MWrD
6 juli 2009

{pagi hari di penuhi penat} Kata, Hadirlah!!!

Dimana kata?

Buntu...

tak dapat menari jari ini di atas keyboard

bosan...

kehilangan inspirasi
rindu tak dapat teratasi
senyum simpul, basi.

diraba
dirasa
dan dibaca

menghdirkan puisi alamsegenggam angan bersulam
tiba di relung terdalam
bait syairpun hanyut dalam nestapa
tak hadir aku bersamanya
kembali pada puisi alam
lembaran lama yang kusam
torehan tinta menjelma kelam

berharap dengan puisi
menepis rindu basi
jari masih menari
sepi dan sepi
batin tak terobati
rindu Ilahi tak ku henti


[Renungan]Rambut Putihku

Angin menyingkap rambutku

terurai berantakan jadinya

seskali rambut putihku nampak mengkilat

helai demi helai aku perhatikah dari kaca

sudah lah, kalau memang sudah takdirnya pasti kan datang juga

tentang rambut putih......di kabarkan termasuk salah satu tamu yang akan menjemput kita di dunia

memang harus di waspadai dan harus siap bekal untuk menuju ke sana.

Dan tidak perlu risau keberadaannya


namaun sesekali mengeluh gaduh

di perhatikannya seakan menjemput ajal, memang.


tapi agak ragu juga sih...

sudah lah yang penting harus selalu siap apa yang akan menimpa...

entah esok berpulang

atau mungkin seratus tahun lagi....



Monday, July 6, 2009

Si Ibu Berkebaya Hitam Menambah Kesyukuranku

Suatu hari saya melihat seorang ibu-ibu  berkebaya hitam , berkerudung yang di sampirkan di
kepalanya. Berjalan cepat sambil teriak-teriak dan ngomel pada orang yang ada di sekitarnya.
Saya sendiri tidak begitu faham apa yang di ucapkannya, karena kebetualn saya berada di luarnegeri, dan saya belum begitu menguasai bahasa di negeri itu, dan memang bahasa yang di gunakan ibu-ibu itu adalah bahasa kampung di negara itu.
Dalam batin saya berbicara; “ada apa dengan ibu-ibu itu kok teriak-teriak sambil memarahi orang sekitanya ?”.
Dan yang menjadi sasaran omelannya adalah orang yang ada di sektarnya, Untungnya ketika itu saya sedang berada di dalam sebuah toko untuk membeli sesuatu, jadi kemungkinan besar seandainya saya berada di luar toko itu akan kena omelan si ibu berkebaya hitam itu.
Sontak aku berfikir; “Oo, orang gila”.
Saya berpendapat begitu karena mamang ada indikasi bahwa ibu itu memang kuraung waras, gila. yaitu ketika orang-orang di dekatnya yang kena omelan si ibu itu, ada yang senyum dan ada pula yang tertawa dan ada juga yang hanya diam terus melanjutkan perjalanannya.
                Cerita di atas sepertinya sudah biasa di negara kita, Indonesia tercinta . dan bahkan kalau kita melihat orang gila di kampung-kampung atau di desa-desa  malah menjadi bahan tawa dan tontonan kebanyakan anak kecil dan ada juga orang dewasa.
Dari sini saya akan coba mengomentari tawa dan senyum atau bahkan diamnya mereka saat melihat orang gila.
Tertawanya mereka mengindikasikan sebuah ejekan dan hinaan atau cemoohan pada orang gila tersebut. Dan bahkan mereka menjadikan sebuah hiburan karena mereka dapat tertawa dengan melihat orang gila tersebut.
Seandainya saya mampu -karena persoalan bahasa tadi- sayangnya saya belum mampu. Saya akan berkata  kepada orang yang tertawa itu, “coba seandainya ibu berkebaya hitam itu adalah salah satu dari anggota keluarga anda atau bahkan ibu anda, maka apa yang anda lakukan ketika melihat salah satu dari anggota keluarga anda sedang menjadi bahan tontonan dan di tertawakan atau di cemooh orang lain?”
Lebih-lebih kita merasa iba dan kasihan, dan bahkan bersyukur pada yang memberi hidup dengan berkata “ya Alloh terimakasih engkau telah memberian kesempurnaan pada hamba, kesempurnaan agama, jiwa dan raga. Sehingga bisa menikmati hidup ini”.
Orang yang menertawakan tadi artinya belum bisa mensyukuri karunia Alloh yang di berikan kepadanya, belum bisa merasakan derita karena mendapatkan comoohan dan ejekan orang lain, bahkan sempat-sempatnya tertawa di atas penderitaan orang lain.
                Sedangkan orang yang hanya diam –melihat orang gila- mengindikasiakan orang itu sedang berfikir dan mensykuri nikmat Alloh yang di berikan padanya, karena dalam hatainya ia berdzikir, “ Ya Alloh engkau sempurnakan jiwa dan raga hamba tanpa satu kekurangan apapun atau bahkan cacat pada diri hamba, sehinga bisa berfikir akan keberadaan-MU melalui alam semesta dan seisinya ini.
Dari kejadian itu dapat di ambil kesimpulan. Pertama, pentingnya belajar bahasa. Bahasa adalah alat komunikasi yang begitu penting antar sesama manusia. coba Seandainya saya bisa lancar berbahasa di negera tersebut maka insya Alloh akan saya ingatkan mereka yang tertawa saat melihat orang gila itu. Dan itu merupakan dakwah di jalan kebaikan. Kedua, bagaimana bisa merasakan derita yang di alami orang lain, dan yang ketiga, bisa bersyukur dengan melihat ibu berkebaya hitam tadi.



Seharusnya ke Masjid, Bukan keTerminal.!!!

hari itu matahari menyengat dengan sangatnya, udara gersang, sesekali angin bertiup kencang mengacak-acak tumpukan debu dan berterbangan. Sumpek alias BeTe, dan di tambah lagi pas hari-hari ujian kenaikan. aduh tambah Pusing.

mondar-mandir tak tahu harus bagaimana. “Aku harus mencari tempat yang enak buat belajar” batinku.
duduk di sofa ruang tamu depan sambil balajar, perasaan tak enak samakin menancap dalam-dalam di relung hati.

Sudah menjadi kebiasaaan saya kalau sedang galau, gundah gulana dan apalah, sumpek alias BeTe saya pergi kemasjid untuk menenangkan fikiran sambil membawa buku dan qur'an kecil ke masjid. serasa sejuk di dalam masjid, memang. meskipun hawa panas. Tapi tidak tahu hari itu aku rasanya malas sekali pergi ke masjid. Aku masih mondar-mandir di dalam rumah, kadang ke kamar, kadang ke depan rumah dan kadang juga kedapur entah apa yang saya kerjakan sambil bawa buku pelajaran yang besok lusa aku harus ujian. Pusing, kepala terasa panas, melangkah gontai akhirnya aku putuskan untuk pergi ke terminal, yang kebetulan rumahku tak jauh dari terminal dan aku dengan santainya naik bus yang aku tidak tahu mau kemana bus itu. Batinku dalam hati; entahlah sampai mana aku ini nanti, yang penting aku bisa menenangkan fikiranku.
Tak lupa aku membawa buku pelajaran buat aku baca, berharap ada sedikit pencerahan nantinya, tapi nyatanya malah aku sendiri di dalam bus  melamun bukannya konsentrasi baca buku. kadang sesekali aku memperhatikan para penumpang bus yang baru saja naik ataupun yang sedang turun dari bus. Ah, di dalam bus bukannya tenang  malah tambah kacau fiiranku.
Bus masih  tetap melaju kencang, aku putuskan unuk turun nanti kalau bus itu sudah berhenti di terminal terakhir hingga membawa penumpang lagi.
sampai di terminal akhir kebingungan aku jadinya, tidak tahu daerah mana dan aku sempat membeli makanan di situ, aku pun pulang dengan bus yang  tadi aku berangkat dengan bus itu.
di tengah perjalanan  pulang, aku bertemu dengan segerombolan pemuda, aku rasa mereka anak-anak jalanan.
salah satu dari anak-anak jalanan itu menyapaku sok kenal; "Hai, dari mana mau kemana?" tanyanya songong."Lagi pengen jalan-jalan aja naik bus pulang pergi tanpa ada tujuan". jawabku enteng.
sempat aku berjabat tangan dan berkenalan dengan anak yang menyapaku itu. "kasar dan songong sekali jabat tangannya", batinku dalam hati.
sebenarnya aku pengen ngobrol banyak dengannya tapi aku urungkan niatku itu karena aku melihat dia bukan anak baik-baik, dilihat dari cara bersalaman dan tingkah lakunya di dalam bus yang tidak mengenakkan para penumpang. Melihatpun aku sudah malas sebenarnya.
aku duduk di kursi sendirian dan diam. Kernet bus keliling menyambangi para penumpang, menarik uang karcis bus, dan aku pun di kasih kertas karcisnya sama kernet bus.
tiba-tiba salah satu anak jalanan  tadi memberikan kertas-kertas karcis milik mereka yang sudah tidak belaku lagi pada saya  sambil bilang; ni, buat kamu kertas karcisnya biar kamu bisa jalan-jalan sepuasnya naik-turun bus.
sontak aku jengkel namun aku tidak mengekspresikan kejengkelan dan kekesalanku itu, aku hanya mangkel, marah dalam hati saja.
 sejenak kemudian saya merenung; coba seandainya saya tadi pergi kemasjid saja. di masjid yang hawanya sejuk dan menentramkan hati dan fikiran, kan saya nggak bakalan di kerjain sama anak-anak janalanan itu.
Rasa kesal itu hilang setelah gerombolan anak-anak itu turun dari bus.
aku kembali merenungi diriku yang sedang tidak tau kenapa saya ini kok jadi begini. tidak biasasanya.

memang tiada tempat yang lebih sejuk dan nyaman kecuali di masjid. masjid selain tempat untuk beribadah, juga tempat untuk merenungi sesuatu dikala fikiran tidak tenang, dikala fikiran sedang kacau. Tempat biasa aku melepaskan gundah-gulana dan penat adalah masjid bukan di terminal. tempat  beribadah kepada Robb semesta alam.
Hati akan tenang dan tentram, fikiran yang tadinya dirasa sempitpun akan merasa longgar dan plong.
Wallahu'alam

Sign by Dealighted - Coupons and Deals